Berkat Air Bersih, Warga Desa di NTT Bisa Jual Sayur dari Pekarangan Rumah

Ajeng Dwita Ayuningtyas
30 Oktober 2025, 13:29
air bersih, NTT, tenaga surya
Katadata/Ajeng Dwita Ayuningtyas
Sebagian pekarangan rumah warga Desa Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, dipenuhi dengan sayuran hijau.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Sebagian pekarangan rumah warga Desa Manulea, Kecamatan Sasitamean, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, dipenuhi dengan sayuran hijau. Pemandangan tanaman yang menghijau di pekarangan warga terlihat setelah air bersih mengalir ke rumah-rumah mereka pada Agustus 2024 lalu.

Air bersih yang berharga itu bukan hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Warga juga memanfaatkan air bersih untuk bercocok tanam di pekarangan rumah. Sayur-mayur yang mereka tanam laku terjual dan menjadi pendapatan tambahan.

Sawi putih, pakcoy batang hijau, kol, selada, hingga jagung yang ditanam di pekarangan, mampu mengundang orang yang melintas untuk berhenti dan membelinya. 

“Setiap hari minimal Rp 20.000 (sayur terjual), pas orang lewat,” kata Ety, seorang warga Desa Manulea, saat ditemui Katadata di rumahnya, pada Rabu (29/10).

Sebelumnya, sehari-hari Ety berjualan aksesoris melalui media sosial. Ety mengatakan penghasilan dari berjualan sayur justru lebih baik dibandingkan penjualan aksesoris.

“Penghasilannya kan tetap, sepuluh-dua puluh ribu sehari, kita kumpul-kumpul jadi banyak,” ujarnya. 

Ketika sedang hoki, pembeli yang datang bisa memborong satu bedeng sayur dengan nilai Rp 100.000-Rp 200.000. Ada pembeli yang menjualnya kembali ke pasar atau membelinya untuk kebutuhan acara besar, seperti pesta dan acara adat.

Ety membeli benih di toko dengan kisaran harga Rp 25.000-Rp 35.000 per paket. Ia memanfaatkan pupuk organik langsung dari kandang, ditambah pupuk urea untuk mempercepat pertumbuhan tanamannya.

Ety hanya perlu membayar Rp 20.000 per bulan agar air bersih dapat mengairi kebunnya. Biaya tersebut jauh lebih ringan dibandingkan harus berjalan sekitar 1 kilometer (km) di tanah yang curam, menuju mata air terdekat.

Warga Desa di NTT Menjual Sayur di Pekarangan Rumah
Warga Desa di NTT Menjual Sayur di Pekarangan Rumah Sejak Ada Air Bersih. (Katadata/Ajeng Dwita Ayuningtyas)

Cerita Serupa dari Desa Tetangga

Rini, warga Desa Naisau, sudah memanfaatkan lahan di sekitar rumahnya untuk berkebun sirih, lebih dari 20 tahun lalu. Kala itu, air bersih masih sangat sulit dijangkau dari rumahnya. 

Sama seperti warga Desa Naisau lainnya, Rini harus berjalan lebih dari 1,5 km melewati hutan dengan kondisi tanah curam, untuk mencapai air bersih langsung dari mata air.

 “Lumayan (harus berjalan) satu kilometer, tapi ini turun sekali,” katanya.

Selain untuk mengairi perkebunan, air bersih juga dibutuhkan untuk kegiatan sehari-hari, mulai dari minum, memasak, mencuci, hingga mandi. Tapi, tak jarang warga memilih mencuci dan mandi langsung dari mata air.

“Tanam sirih pertama, kami timba pakai jeriken. Empat jeriken,” ucap Rini.

Rini harus membawa empat jeriken masing-masing berukuran 5 liter, dari mata air hingga ke rumahnya. Itu baru beban untuk kebutuhan kebun, belum untuk kebutuhan rumah tangga serta pakaian yang ia bawa untuk dicuci di sumber air.

Jika tak ingin turun jauh ke sana, warga punya pilihan untuk membeli air dari usaha tangki air perseorangan. Harganya sekitar Rp 200.000 untuk 5.000 liter. Jika ditambah dengan kebutuhan air untuk mengairi kebun, 5.000 liter habis dalam satu minggu.

Namun, kini Rini dan warga Naisau lainnya dapat menikmati air bersih hanya dengan membayar iuran Rp 20.000 per bulan. 

Harga dan akses yang lebih terjangkau ini mulai dirasakan warga Naisau dan Manulea sejak 2024 lalu. Pemerintah desa bekerja sama dengan Yayasan Solar Chapter untuk membangun sistem air bersih. 

Dari data terbaru, kebutuhan air bersih 259 dari 523 warga Naisau bergantung pada hasil pompa air tenaga surya. Pompa tersebut menghasilkan 37.000 liter air per detik. Lebih dari rata-rata kebutuhan per individu di desa tersebut, yaitu 15.540 liter per detik.

Kolaborasi Pemerintah Desa Naisau dan Solar Chapter telah memfasilitasi warga dengan sepuluh kran komunal (digunakan beberapa rumah). Selanjutnya, pemerintah desa mengembangkan fasilitas tersebut secara mandiri, dengan membangun bak reservoir baru dan kran komunal lainnya.

Pompa air bersih ini menggunakan 14 panel surya sebagai sumber tenaga. Panel tersebut menghasilkan 7,7 kWp untuk memompa air dari bak penampungan di dekat mata air, ke bak reservoir di pemukiman warga.

Sementara itu, di Desa Manulea, terdapat lima panel surya yang menghasilkan daya 2,75 kWp. Volume air di bak pompa mencapai 20.000 liter/detik, didistribusikan untuk sepuluh kran komunal. 

Air tersebut kini memenuhi kebutuhan sekitar 354 dari 2.681 warga Desa Manulea. Sebagian warga sudah mendapat akses air dari program pemerintah, sebagian lainnya belum memiliki akses air terjangkau sama sekali.

Solusi Perubahan Perilaku Warga

Aktivitas perkebunan yang dilakukan warga Manulea merupakan salah satu solusi dari masalah sosial yang muncul setelah air bersih masuk ke pemukiman warga. Pasalnya, setelah air bersih lebih dekat dari rumah, sebagian warga justru mengeluh karena sosialisasi antarwarga turun.

Dulu, warga bisa memanfaatkan waktu selama perjalanan dari rumah menuju mata air untuk berbincang atau “bergosip”. Tapi, kini tak ada waktu untuk hal itu. 

“Jadi berubah. Tapi daripada duduk bergosip di kali sambil cuci pakaian, mending menanam. Kalau mau bergosip, ya bergosip sambil menanam atau beternak,” kata Learning Program Coordinator Solar Chapter, Ni Ketut Alit Astuti.

Alit juga menjelaskan, pembangunan sistem air harus mempertimbangkan unsur keberlanjutan. 

“Kalau hanya dipakai buat mandi, buat makan minum, menurut kita itu enggak sustainable, kalau bisa, dia bisa berputar ke arah ekonomi juga, makanya diarahkan untuk menanam, berkebun, beternak,” jelas Alit. 

Selain membangun sistem air dari segi teknis, Alit menilai pembangunan kualitas masyarakat juga diperlukan. Oleh karena itu, ketika sistem air sudah dibangun, Solar Chapter juga memberi pelatihan serta pembinaan untuk warga.

Selama ini, peningkatan kapasitas tersebut dilakukan 2 minggu sekali selama tiga bulan. Setiap kali pertemuan, mereka menghabiskan 4-5 jam untuk berdiskusi. Tapi, waktu tersebut belum cukup. Kini Solar Chapter sedang mengembangkan program bootcamp

“Kalau bootcamp kan warga menginap, kita jalin emosionalnya di situ lebih lama. Supaya mereka paham maksud kita, baru menjelaskan soal perawatan, pemeliharaan, iuran air, dan pemanfaatan air,” jelasnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...