Masyarakat Adat Gajah Bertalut: Menjaga Hutan, Mencari Pengakuan
Perjalanan menuju Desa Gajah Bertalut di Kabupaten Kampar, Riau terasa seperti petualangan. Pesawat membawa saya menembus lautan awan selama dua jam dari Jakarta menuju Pekanbaru, kemudian berlanjut dengan perjalanan darat selama tiga jam. Hamparan pohon sawit berbaris di sepanjang jalan, serupa dinding hijau yang seragam dan kaku.
Rasanya seperti melintasi batas antara hiruk-pikuk perkotaan dan sunyinya wilayah perkebunan. Truk-truk besar lalu lalang, mengangkut muatan buah kelapa sawit yang tampak melebihi kapasitas. Bagi warga sekitar itu pemandangan biasa. Provinsi Riau adalah produsen utama kelapa sawit di Indonesia.
Perjalanan darat yang melelahkan itu berakhir di Dermaga Gema yang terletak di tepian Sungai Kampar. Namun, petualangan belum berakhir. Tidak ada lagi jalan darat yang bisa dilalui. Hanya aliran sungai yang berkilau ditimpa matahari yang akan menghubungkan kami ke Desa Gajah Bertalut.
Sebuah sampan kayu bermesin mungil tertambat di dermaga. Tubuhnya ringkih tetapi tangguh melawan arus. Itulah tumpangan kami selanjutnya. Suara mesin meraung pelan, memecah keheningan siang yang terpanggang terik. Di atas permukaan air yang beriak tenang, perjalanan tiga jam terasa seperti menyusuri lembar demi lembar sebuah kisah.
Sungai bukan hanya jalur, ia adalah cermin kehidupan. Dari atas sampan, saya menyaksikan kehidupan masyarakat di sepanjang tepian. Anak-anak berlarian dan terjun ke air sambil tertawa. Suaranya terbawa angin dan menggema di antara tebing hutan.
Para perempuan terlihat sibuk mencuci pakaian di batu besar di tepi sungai. Tangan mereka bergerak ritmis seolah sedang menenun. Sementara di kejauhan, para lelaki asik menyelam mencari ikan, melenyapkan tubuhnya ke dalam air yang jernih. Di sisi yang lain, kawanan kerbau dimandikan perlahan. Air menetes dari kulit hitamnya yang berkilau diterpa cahaya matahari sore.
Menanti Pengakuan
Ini adalah wilayah tersembunyi di sudut peta Indonesia. Bagian kecil dari Masyarakat Adat Kekhalifahan Batu Sanggan yang menaungi enam kenegerian. Orang lokal menyebutnya ‘Kotak Nan Onam’. Salah satu kenegerian itu adalah Gajah Bertalut, muara dari perjalanan panjang tujuh jam lamanya dari Jakarta.
Wilayah ini menjadi bagian dari Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling, kawasan konservasi yang ditetapkan pemerintah sejak 1982. Hutan ini adalah salah satu benteng terakhir bagi hutan alami beserta satwa liar yang kini makin terdesak habitatnya akibat masifnya perkebunan sawit.
Skema suaka margasatwa justru menjadi bara dalam sekam bagi masyarakat sekitar. Gesekan kerap terjadi antara aktivitas konservasi dan kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada alam. Pemerintah ingin menjaga hutan dari ekspansi sawit serta melindungi habitat satwa yang ada. Sementara warga hanya ingin bertahan hidup di tanah yang telah mereka jaga turun-temurun selama ratusan tahun.
Suaka Margasatwa merupakan kawasan konservasi dengan tingkat perlindungan yang sangat ketat di Indonesia. Ketentuan tersebut kerap diartikan mencakup masyarakat adat yang telah bermukim dan bergantung pada hutan secara turun-temurun. Di wilayah ini, hasil hutan dan habitat di dalamnya tidak boleh dimanfaatkan secara bebas.
Bagi masyarakat adat Gajah Bertalut, situasi ini tidak menguntungkan mereka. Meski dikelilingi hutan dan lahan yang subur, mereka kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Bahan makanan seperti cabai, daun bawang, dan sayur-mayur harus didapat dengan susah payah dari pusat desa yang berjarak tiga jam bersampan. Pasalnya, warga tidak diperkenankan untuk membuka lahan dan menanam apapun di wilayah konservasi.
"Kebutuhan pokok itu kami beli semua. Kalau sudah sampai desa langsung jadi mahal,” kata salah seorang warga.
Pemerintah memang sudah memberikan zona khusus untuk masyarakat adat. Namun, mereka tidak memiliki hak legal atas tanah dan bangunan yang mereka tempati. Tidak ada surat tanah dan rumah. Hingga kini, Masyarakat Adat Gajah Bertalut terus memperjuangkan pengakuan terhadap hutan adat yang bersengketa dengan kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling.
“Kalau diusir, kami bisa apa?,” keluhnya.
Kepala Balai Besar KSDA Riau, Supartono mengatakan pengelolaan kawasan konservasi dirancang untuk memberikan ruang bagi masyarakat hukum adat. Seharusnya, mereka bisa tetap menjalankan aktivitas sosial dan ekonomi tanpa mengabaikan aspek pelestarian alam. Kawasan ini dibagi menjadi beberapa blok. Mulai dari blok inti, blok rimba, blok pemanfaatan, dan blok khusus.
Di Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling, blok khusus yang ditetapkan mencapai 17.348 hektare atau sekitar 12% dari total kawasan. Area ini disediakan bagi masyarakat lokal yang secara turun-temurun telah bermukim di dalam kawasan, termasuk masyarakat adat di Desa Gajah Bertalut.
Menurut Supartono, penetapan blok khusus dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek penting. Pertama, keberadaan masyarakat yang sudah lama tinggal di kawasan tersebut. Kedua, kebutuhan akan ruang kelola yang menjadi bagian dari aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Ketiga, adanya lembaga dan infrastruktur pendukung seperti permukiman dan fasilitas umum.
"Suaka Margasatwa Rimbang Baling bertujuan untuk melindungi dan melestarikan atau memanfaatkan secara lestari keanekaragaman hayati serta ekosistem yang didalamnya," tutur Supartono, Kepala, Kamis (30/10).
Meski telah mendapat Surat Keputusan (SK) Bupati yang mengesahkan sebagian wilayah sebagai hutan adat, perjuangan masyarakat untuk memperoleh pengakuan resmi dari pemerintah pusat belum juga membuahkan hasil. Jauh sebelum Rimbang Baling ditetapkan sebagai suaka margasatwa, masyarakat adat Gajah Bertalut sudah lama bermukim dan mengelola lahan di dalam kawasan tersebut. Berdasarkan laporan WRI Indonesia melalui Peta RE-1, sekitar 40% area suaka margasatwa tumpang tindih dengan klaim wilayah adat masyarakat setempat.
Badrul Aziz, mantan Datuk Pucuk Desa Gajah Bertalut mengungkapkan, masyarakat sudah mengajukan pengakuan hutan adat melalui ke pemerintah sejak 2013. Ia menilai pengakuan terhadap hak atas tanah menjadi kunci penting untuk melindungi ruang hidup mereka dari potensi perampasan dan pembatasan akses yang tidak adil.
“Kami sudah dapat SK dari Bupati untuk mengesahkan hutan adat seluas 4.414 hektar,” kata Badrul, Selasa (28/10).
Meski telah mengantongi SK Bupati, masyarakat Gajah Bertalut belum memperoleh pengakuan hukum dari pemerintah pusat. Padahal, Badrul menuturkan pihaknya sudah berulang kali menyampaikan aspirasinya hingga ke Jakarta.
“Sampai sekarang belum ada kemajuan. Kami minta SK daripada Presiden, tapi alhamdulillah enggak sampai,” ujarnya.
Badrul menegaskan bahwa perjuangan masyarakat adat bukan untuk menguasai kawasan konservasi. Upaya ini semata-mata untuk mendapatkan pemulihan hak adat yang telah ada jauh sebelum penetapan kawasan suaka margasatwa.
“Bukit Rimbang Baling baru jadi kawasan konservasi tahun 1982. Sementara kami tinggal di sini sudah berapa abad?” tegasnya.
Hukum Adat yang Menjaga Hutan
Masyarakat Adat Kenegerian Gajah Bertalut masih menguatkan penerapan hukum adat sebagai instrumen utama untuk menjaga dan mengelola lingkungan hidup di wilayahnya. Praktik-praktik tradisional tersebut mencakup pengelolaan Hutan Ulayat dan pengaturan lubuk larangan yang diwariskan turun-temurun.
Menurut adat setempat, wilayah kearifan lokal dibagi menjadi lima tipe imbo (zonasi). Pertama, imbo gani atau hutan larangan yang mayoritas berupa hutan primer dan tidak boleh diganggu guna melestarikan ekosistem.
Kedua, imbo perkebunan yang diperuntukkan bagi lahan kebun karet atau pola tanam campuran antara tanaman hutan dan perkebunan. Ketiga, imbo permukiman sebagai kawasan tempat tinggal. Keempat, imbo pemanfaatan yaitu zona hutan yang boleh dimanfaatkan, dan kelima imbo cadangan yang merupakan hutan larangan sementara untuk kepentingan generasi mendatang.
Pada dua zona terakhir, yakni imbo pemanfaatan dan imbo cadangan, ekstraksi sumber daya termasuk penebangan diizinkan, tetapi hanya setelah memperoleh izin para tetua adat dan bukan untuk tujuan komersial. Wilayah yang ditetapkan sebagai imbo cadangan secara khusus dijaga untuk pemanfaatan masa depan.
“Kami selaku pemangku adat, kami adakan bagian-bagiannya. Mana yang bisa dimanfaatkan mana yang bisa betul-betul dilindungi. Bukannya kalau dikasih SK dari kementerian, kami babat semua," tandasnya.
Artikel ini merupakan kolaborasi liputan bersama (co-reporting) media internasional, nasional, dan lokal mengenai pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia yang diinisiasi oleh Katadata Green.

