Koalisi JustCOP: Indonesia Harus Manfaatkan Inisiatif TFFF
Inisiatif pendanaan Tropical Forest Forever Facility (TFFF) resmi diluncurkan di konferensi iklim tingkat tinggi COP30, di Belem, Brasil. Inisiatif ini akan mengumpulkan US$ 125 miliar atau Rp 2.088 triliun untuk pendanaan perlindungan hutan hujan dunia.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menilai, inisiatif Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva ini menjadi solusi riil yang dapat diadaptasi Pemerintah Indonesia. TFFF berpotensi menurunkan emisi karbon secara signifikan, sekaligus menggerakkan ekonomi masyarakat adat penjaga hutan.
“Kondisi tersebut hanya dapat terjadi bila ada pelibatan masyarakat adat secara bermakna, bukan sekadar keputusan elit pemerintah dan mitra nasional,” kata Bhima, dalam keterangan resmi dikutip Jumat (7/11).
Pendanaan tersebut menggunakan skema result-based payments bagi negara hutan tropis yang menurunkan deforestasi. Sebanyak 20% dananya dialokasikan ke masyarakat adat dan komunitas lokal.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) menganggap hal ini selaras dengan kondisi Indonesia. Mengingat masih banyak masyarakat adat yang kehilangan hutan, ruang hidup, sumber pangan, serta identitas budaya di tengah-tengah industri perusak lingkungan.
Direktur Eksekutif Yayasan MADANI Berkelanjutan Nadia Hadad yang tergabung dalam JustCOP bersama Bhima, mendesak pemerintah untuk memastikan pendanaan iklim yang diadvokasi secara global benar-benar mengalir sampai komunitas penjaga hutan dan ekosistem.
“Bukan hanya melalui proyek besar yang rawan greenwashing,” tuturnya.
Perubahan Fundamental Utamakan Kelompok Rentan
Country Director Greenpeace untuk Indonesia, Leonard Simanjuntak, menekankan perlunya perubahan fundamental Indonesia agar masyarakat adat dan kelompok rentan merasakan pendanaan iklim berkeadilan.
Salah satu perubahan yang dirinya maksud adalah tidak lagi meloloskan industri ekstraktif dan melanggengkan deforestasi secara terencana.
Menurutnya, dua kalimat kunci Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres di COP30 harus menjadi pegangan. “Ini bukan sekadar tentang suhu. Ini tentang kelangsungan hidup manusia, hutan, dan masa depan,” ujar Guterres dalam pidatonya di Belem, Brasil, Kamis (6/11).
Sejalan dengan hal itu, Bhima melihat praktik kolonialisme alam dan industri ekstraktif perusak hutan masih diberi pendanaan lebih besar dibandingkan pendanaan iklim.
“Bila praktik itu dilanggengkan, negara-negara berkembang seperti Indonesia akan melewatkan kesempatan emas tumbuh secara berkelanjutan,” tuturnya.
