Trase Earth: Deforestasi Terbaru Terpusat di Kalimantan

Ajeng Dwita Ayuningtyas
11 Desember 2025, 12:37
Area hutan adat Kasepuhan Pasir Eurih di Sobang, Lebak, Banten, Rabu (14/6/2023). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berupaya mempercepat penetapan hutan adat di 40 lokasi hutan di Indonesia, sesuai dengan rekomendasi Komisi Nasional Hak As
ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/tom.
Area hutan adat Kasepuhan Pasir Eurih di Sobang, Lebak, Banten, Rabu (14/6/2023). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berupaya mempercepat penetapan hutan adat di 40 lokasi hutan di Indonesia, sesuai dengan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) guna menekan deforestasi sekaligus mendukung konservasi hutan adat.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Temuan terbaru Trase Earth menunjukkan, meskipun laju deforestasi industri pulp menurun pada 2024, risiko kerusakan hutan alam masih sangat tinggi. 

Dari hasil analisis rantai pasok, terlihat sebagian besar hutan hilang terjadi di konsesi hutan tanaman industri berupa kebun kayu, namun belum memasok hasilnya ke pabrik. Ini membuat aktivitas tersebut berada di luar komitmen keberlanjutan perusahaan besar.

Sementara, lebih dari 80% deforestasi sejak 2015 terjadi di konsesi non-pemasok. Ini menimbulkan celah besar pembabatan hutan tanpa pertanggungjawaban publik.

Temuan Trase memperlihatkan sebagian besar deforestasi terbaru terpusat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Deforestasi tersebut mencakup konsesi yang membuka ribuan hektare hutan alam dan habitat satwa dilindungi. 

Risiko deforestasi meningkat seiring beroperasinya pabrik pulp baru di Kalimantan Utara, yang berpotensi menyerap kayu dari area berisiko tinggi dan area hutan alam.

Meskipun tren deforestasi untuk kebun kayu menurun, lonjakan deforestasi pada awal tahun 2000-an dan celah komitmen keberlanjutan meninggalkan jejak kerusakan yang mendalam terhadap hutan alam Indonesia. 

“Sektor pulp Indonesia menunjukkan kemajuan, namun aksi yang lebih kuat masih dibutuhkan dalam implementasi no deforestation, no peat, and no exploitation (NDPE),” kata Data Scientist Trase, Adelina Chandra, dikutip dari keterangan resmi pada Kamis (11/12).

Di Sumatera, hilangnya tutupan hutan terjadi dalam skala besar dan berlangsung selama bertahun-tahun tanpa pemulihan yang sepadan. Banjir bandang di Sumatera pada akhir tahun ini merupakan hasil dari proses panjang kerusakan lingkungan.

Risiko dari Pengeringan Lahan Gambut

Meskipun demikian, tekanan terhadap lingkungan tidak hanya berasal dari kehilangan hutan. Sebanyak 43% area kebun kayu produktif berada di lahan gambut yang dikeringkan, menghasilkan emisi besar dan meningkatkan risiko kebakaran. 

Pada 2024, emisi dari subsidensi atau penurunan permukaan gambut mencapai 76 juta ton CO?e, menjadikan sektor pulp kontributor penting emisi dari perubahan penggunaan lahan. Konflik sosial juga terus terjadi, termasuk sengketa lahan, intimidasi, dan kriminalisasi masyarakat adat dan lokal.

Juru Kampanye Auriga Nusantara Hilman Alif menilai, pemerintah dan industri harus menutup celah kebijakan yang masih memungkinkan pembukaan hutan di luar pengawasan.

“Selama ada konsesi berizin yang masih bebas membuka hutan alam termasuk area dengan nilai konservasi tinggi, komitmen NDPE tidak akan cukup,” katanya.

Trase dan Auriga Nusantara sepakat menyerukan perluasan kewajiban NDPE bagi seluruh konsesi kebun kayu, memperkuat pengawasan di wilayah rawan, serta memastikan kebun pabrik baru tidak memicu deforestasi tambahan. 

Keduanya juga menegaskan, keberlanjutan sektor pulp Indonesia hanya bisa dicapai jika praktik pemicu hilangnya hutan dihentikan sekarang.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...