Menhut: Tata Kelola Kehutanan Perlu Diperbaiki
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengakui tata kelola kehutanan di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan yang perlu dievaluasi dan diperbaiki.
Pernyataan tersebut disampaikan langsung di hadapan perwakilan masyarakat hukum adat dalam Lokakarya Nasional Pasca COP30 Belem, Brasil, yang membahas draf Peta Jalan Percepatan Penetapan Status Hutan Adat.
Dalam pidatonya, Menteri Kehutanan Raja Juli mengatakan berbagai bencana ekologis yang terjadi di sejumlah wilayah, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, tidak bisa semata-mata dilihat dari satu faktor penyebab saja.
Menurutnya, perdebatan mengenai apakah bencana dipicu oleh curah hujan ekstrem atau faktor lain sah untuk dilakukan, namun pemerintah juga harus berani melakukan refleksi diri.
“Saya katakan, boleh ada perdebatan tentang apa yang menjadi penyebab utama apa yang ditimpa oleh saudara-saudara kita di Aceh, di Sumatera Utara, di Sumatera Barat. Apakah ini karena jumlah atau volume air yang sebegitu besar? Ada berbagai macam analisa,” ujar Menhut.
Namun, ia menegaskan dari sisi pemerintah, khususnya sektor kehutanan, diperlukan kerendahan hati dan keterbukaan untuk mengakui bahwa terdapat praktik dan kebijakan yang perlu dibenahi.
“Tapi dari sisi kami, perlu ada kerendahan hati, perlu ada keterbukaan lapang dada, terbuka juga pikiran kita bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki di sektor kehutanan kita. Apapun perdebatan panjang-panjang, kita harus akui ada cara kita melakukan yang harus kita perbaiki,” katanya.
Menteri Kehutanan menyoroti persoalan daya tampung lingkungan yang dinilai semakin berkurang, evaluasi perizinan sektor pertanian, serta tata ruang yang dinilainya masih jauh dari kata baik.
Ia menilai persoalan tata ruang menjadi krusial karena kewenangannya tersebar di berbagai kementerian dan belum terintegrasi secara optimal.
“Tata ruang ini menjadi penting, ada lima sektor tata ruang tapi diampu oleh lima kementerian yang berbeda dan barangkali tidak ketemu, ada ego sektoral, ada aturan-aturan yang masih ditutupi di sana,” ujarnya.
Ia merinci bahwa tata ruang udara berada di Kementerian Pertahanan, tata ruang darat berada di Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR, tata ruang laut di Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta tata ruang bawah tanah di Kementerian ESDM. Selama ini, menurutnya, kelima tata ruang tersebut tidak terkoneksi dengan baik.
Kondisi tersebut, lanjut Raja Juli, kerap memunculkan persoalan di lapangan, seperti munculnya izin usaha pertambangan di kawasan hutan lindung bahkan kawasan konservasi.
Ia mencontohkan kasus tambang emas di Batang Toru yang berada di kawasan hutan lindung, namun secara tata ruang tercatat sebagai area penggunaan lain (APL) akibat perubahan tata ruang sejak 1982.
“Padahal di Batang Toru, satu tempat yang sangat penting untuk menjaga, termasuk di biodiversity kita ada orangutan yang tinggal sedikit lagi,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa persoalan-persoalan tersebut harus dikelola dengan sikap rendah hati dan keberanian untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Menteri Kehutanan mengingatkan bahwa mempertahankan cara kerja lama dengan harapan hasil yang berbeda adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
“Kita harus berubah, kita harus berubah,” tegasnya.
