Aturan Baru Membuat Tagihan Listrik Pengguna PLTS Atap Lebih Mahal
Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) menyoroti formula baru penjualan listrik ke PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero). Formula ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PLN yang berlaku 16 November 2018.
Ketua PPLSA Yohanes Bambang Sumaryo mengatakan aturan tersebut sebenarnya bagus sebagai usaha pemerintah mengakomodasi peran masyarakat dalam pencegahan perubahan iklim (global warming). Namun, aturan itu tidak cukup bagus untuk perumahan, komersial atau industri.
Salah satu yang disorot adalah mengenai formula menghitung listrik yang dijual ke PLN. Itu tertuang dalam pasal 6 yang menyebutkan energi listrik pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kilowatt hour (kWh) Ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65% tarif listrik.
Adapun yang nilai ekspor adalah jumlah energi listrik yang disalurkan dari sistem instalasi pelanggan PLTS Atap ke sistem jaringan PT PLN (Persero) yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor. Sedangkan kWh Impor adalah jumlah energi listrik yang diterima oleh sistem instalasi Pelanggan PLTS Atap dari sistem jaringan PT PLN (Persero) yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor.
Menurut Bambang, dengan formula itu, maka penjualan listrik ke PLN akan terkena potongan sebesar 35%. Awalnya, nilai ekspor dihitung 100%, bukan 65%.
(Baca: Panel Surya Ancam Bisnis PLN)
Sebagai contoh, jika pengguna PLTSA mengimpor listrik dari PLN sebesar 800 kWh dan ekspornya hanya 600 kWh, dengan aturan lama, tagihan listrik pelanggan bisa hanya sekitar Rp 300 ribu. Ini karena mereka hanya membayar selisih 200 kWh.
Namun, dengan aturan baru, pengguna PLTS bisa dikenakan biaya Rp 600 ribu. Ini karena 600 kWh harus dikalikan 65%. Jadi, pengguna PLTS membayar 410 kWh.