Skema Baru Tarif Listrik EBT, Selisih Harga Jual Ditambal Pemerintah
Rancangan peraturan presiden atau Perpres energi baru terbarukan (EBT) telah mencapai tahap finalisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Regulasi anyar ini akan membenahi sistem tarif yang menjadi penghalang utama pengembangan energi ramah lingkungan di Indonesia.
“Sudah tahap finalisasi, kira-kira telah 95% rampung,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Halim Sari Wardana, Kamis (10/9), dalam acara Launching Accelerating Clean Energy Access for Rural Electrification to Reduce Inequality (ACCESS) Project yang diselenggarakan secara virtual oleh Katadata.co.id, Kamis (10/09).
Sistem ini yang akan diubah dalam Perpres baru, Halim menjelaskan, nantinya pemerintah yang akan menetapkan feed in tarif EBT. Harga yang ditetapkan ini kemudian akan dibeli oleh PLN. Bila terdapat selisih di wilayah tertentu, maka biaya tersebut akan ditambal oleh pemerintah.
Penerapannya akan mengubah skema lama yang hanya memilih pengembang dengan tawaran harga listrik EBT terendah. “Jadi, sudah tidak ada nego-nego harga lagi kalau memakai sistem ini. Apalagi Perpres ini akan memilih harga penawaran yang tinggi pula. Kalau ada selisih, itu pemerintah yang akan ganti atau subsidi,” ujarnya.
Targetnya, aturan baru tersebut akan mengakselerasi target bauran EBT sebesar 23,2% pada 2028. Hingga 2020, angkanya baru di 9,15%. Kedudukannya bakal menggantikan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 14 Tahun 2008.
Kementerian ESDM didukung 11 kementerian dan lembaga lain dalam percepatan bauran EBT di Indonesia. Salah satunya sokongan dana datang dari Kementerian Keuangan yang akan membantu pembiayaan selisih tarif EBT di wilayah tertentu yang biaya pokok penyediaan (BPP) listriknya lebih tinggi.
Kementerian Keuangan sebelumnya telah merencanakan berbagai insentif untuk percepatan EBT di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga turut serta menerbitkan peta jalan energi bersih Indonesia. “Kami percaya, perpres ini akan menarik investor,” kata Halim.
Mendorong Lapangan Kerja
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi FX Sutijastoto menyebut Indonesia masih punya potensi berlimpah energi terbarukan. Potensi dari panas bumi atau geothermal mencapai 23,9 GigaWaat (GW) atau 40% dari kapasitas dunia. Lalu, energi hidro yang mencapai 700 ribu MegaWatt (MW) yang berpusat di provinsi Kalimantan Utara dan Papua.
Sebaran sumber EBT yang berada di wilayah terpencil di Indonesia menjadi perhatian Senior Adviser for Sustainable Energy United Nation Development Programme (UNDP) Indonesia Verania Andria. Keberadaan energi hijau bisa jadi pemecah masalah energi sekaligus sosial.
Pasalnya, sektor tersebut menyimpan potensi lapangan kerja yang besar. Jumlah serapan kerjanya, menurut Verania, bisa melebih sektor batu bara dan Migas. Potensi itu dapat digali salah satunya lewat rencana program Accelerating Clean Energy Access for Rural Electrification to Reduce Inequality (ACCESS) yang menyasar masyarakat rural di Indonesia.
“Lapangan pekerjaan, terutama di wilayah rural bisa terbuka dengan lebar. Hal ini bisa mendorong kualitas SDM kita. Rencananya, di awal tahun depan kami mulai jalankan programnya,” kata Verania.
Studi yang dikakukan Greenpeace East Asia di Vietnam memaparkan, lapangan kerja yang tercipta di sektor energi surya dapat mencapai 3,55 pekerjaan per mega Watt (MW). Serapan ini jauh lebih tinggi ketimbang sektor batu bara yang menyumbang 1,35 pekerjaan per MW.
Di Indonesia, potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia mencapai lebih dari 400 Giga Watt (GW). Kesempatan serupa juga bisa didapat Indonesia yang saat ini masih terus mengeskalasi pemanfaatan EBT.
Produksi energi baru terbarukan Indonesia pada 2000 sebesar 19.599,8 giga Watt hour (GWH). Angka tersebut meningkat 111% menjadi 41.314 GWH pada 2017. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028, pemerintah menargetkan bauran pembangkit listrik EBT sebesar 11,4% pada 2019 dan akan meningkat menjadi 23,2% pada 2028.
Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)