Pengembangan PLTS Atap Dapat Pacu Target Bauran Energi 2025
Pasar pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS Atap dapat menjadi kunci untuk mengejar target bauran energi 23% di 2025. Potensi kapasitas pembangkit itu dari pelanggan rumah tangga dan bisnis bisa mencapai 4 gigawatt hingga 5 gigawatt (GW).
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pelaksanaannya dapat lebih cepat daripada bergantung pada pembangkit besar. “Teknologinya sudah dapat diakses siapa saja. Beli online sudah bisa. Siapa saja bisa mengoperasikan dan memasangnya,” ujarnya dalam acara peluncuran SolarHub Indonesia, Selasa (15/12).
Kondisinya akan berbeda apabila tetap bergantung pada proyek pembangkit energi baru terbarukan atau EBT skala besar. Prosesnya akan lama karena harus masuk dalam program PLN, lalu tercantum dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL). “Kemudian butuh financing, lahan, dan investor,” kata Fabby.
Keunggulan lain PLTS Atap adalah teknologinya modular. Pelanggan rumah tangga dapat memasangnya dari kapasitas hanya 1 kilowatt peak (kwp). Angkanya bisa bertambah sesuai kebutuhan dan biaya. Tak hanya di atap, panel suryanya dapat terpasang di area tak terpakai, seperti kanopi garasi atau parkiran yang menganggur.
Soal harga, selama tiga tahun terakhir terus turun. Fabby menyebut angkanya ketika itu di Rp 25 juta sampai Rp 30 juta per kilowatt peak. “Sekarang sekitar Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per kilowatt peak,” ucapnya. Bahkan ada yang berani mematok harga lebih rendah dari itu.
Peminat PLTS sebenarnya banyak. Dari hasil survei IESR beberapa waktu lalu di Jawa Tengah menunjukkan hampir 10% masyarakat ingin memasangnya. Di Bali, angkanya lebih tinggi di 22%.
Mereka yang tidak tertarik memasang pembangkit tersebut mayoritas atau sekitar 56,5% beralasan karena biaya pemasangan yang mahal. Lalu, 61,3% merasa tidak butuh. Sebanyak 33,9% belum tahu tentang produk dan cara kerja PLTS.
Hambatan Pemakaian PLTS Atap
VP Distribution & Residential ATW Solar Chairiman mengatakan minat masyarakat terhadap PLTS sangat tinggi. Apalagi pandemi Covid-19 menjadi berkah buat perusahaan. Penjualan panel suryanya naik tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu. “Banyak orang beraktivitas di rumah dan mulai menyadari soal pemakaian listrik serta ingin beralih ke energi bersih,” katanya.
Generasi milenial yang mencari informasi ke perusahaan soal PLTS bukup banyak. Namun, pembelinya kebanyakan datang dari generasi di atas itu alias baby boomers. “Milenial porsinya kecil, hanya 5%,” katanya.
Tapi daya beli dari generasi muda mulai bergerak naik. Chairiman mengatakan lima tahun lalu pembeli panel suryanya kebanyakan pemilik rumah mewah dengan daya listrik di atas 5.500 Volt Ampere (VA). Sekarang, konsumennya mulai beralih ke rumah-rumah kelas menengah, bahkan pelanggan listrik di bawah 2.200 Volt Ampere.
Kementerian ESDM mencatat pelanggan PLN yang telah memasang PLTS Atap terus bertambah. Angkanya mencapai 2.346 pelanggan pada Juni 2020 dengan total kapasitas mencapai 11,5 Megawatt (MW). Mayoritas berada di Jakarta.
Hambatan pemakaiannya, menurut Ketua Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) Yohanes Bambang Sumaryo, adalah regulasi pemerintah. Aturan ekspor-impornya yang tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 merugikan konsumen.
Dalam Permen ESDM itu tercantum penghitungan nilai kilowatt per jam (kWh) ekspor-impor listrik dikali 65% atau 0,65. Artinya, 1 watt listrik yang dihasilkan PLTS Atap dapat mengurangi harga listrik PLN maksimal 0,65 watt di tagihan listrik bulan berikutnya.
Hal ini berpengaruh terhadap pengguna PLTS on-grid alias yang terhubung PLN. Pasalnya, hampir 90% konsumen ini bergantung pada penyimpanan grid dari perusahaan setrum negara. “Kalau kelebihan energi, di meteran listrik bisa dianggap pemakaian, malah harus membayar sisanya,” ucap Sumaryo. Pilihannya adalah memasang sistem off-grid. Tapi untuk melakukannya membutuhkan biaya baterai untuk menyimpan listrik.