Masuknya Proposal Tesla Kian Meramaikan Investasi Baterai Listrik RI

Image title
4 Februari 2021, 17:19
tesla, baterai listrik, mobil listrik, luhut binsar pandjaitan, elon musk, inalum, pertamina, pln
123rf.com/Lukas Gojda
Ilustrasi. Negosiasi antara pemerintah dan Tesla terus berlangsung terkait investasi baterai listrik RI.
  • Tesla telah memberikan proposal untuk berinvestasi di bisnis baterai listrik Indonesia.
  • Negara ini memiliki posisi tawar yang kuat dalam hal ketersediaan bahan baku, terutama nikel.
  • Industri baterai dan kendaraan listrik butuh waktu panjang untuk sampai pada produksi aktual.  

Sudah enam kali pemerintah dan Tesla melakukan video call. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memastikan produsen mobil listrik asal Amerika Serikat itu akan berinvestasi di Indonesia. 

Sepanjang komunikasi tersebut, pemerintah dan Tesla terus melakukan koordinasi. Bahkan Indonesia telah mengantongi non-disclosure agreement (NDA) alias perjanjian larangan pengungkapan informasi. “Saya pikir hari ini atau esok, kami akan menerima proposal dari mereka,” kata Luhut dalam acara Tantangan dan Optimisme Investasi di 2021 - Special Dialogue IDX Channel kemarin, Kamis (4/2). 

Ia belum bisa membeberkan nilai investasi yang akan ditanamkan Tesla ke bisnis baterai listrik domestik. Dalam dua bulan terakhir, perusahaan buatan miliarder Elon Musk itu dikabarkan akan datang ke negara ini. Namun, rencana tersebut tertunda karena pandemi Covid-19.  

Saat dikonfirmasi, Juru Bicara Kemenko Marves Jodi Mahardi  mengatakan Tesla telah mengirimkan proposal ke pemerintah pada hari ini. Namun, ia tak dapat membeberkan lebih jauh terkait detail proposalnya sampai negosiasi selesai.

Begitu pula dengan Deputi Investasi & Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto. "Ada NDA, jadi saya tidak bisa disclosed," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (4/2).

TESLA-RESULTS
Ilustrasi. Mobil listrik Tesla. (ANTARA FOTO/REUTERS / Mike Blake/pras/dj)

Perusahaan Asing di Bisnis Baterai RI

Sebenarnya tidak hanya Tesla yang ingin menanamkan investasinya di Indonesia. Pemain global lainnya juga sudah menyatakan ketertarikannya masuk ke bisnis baterai Tanah Air. Misalnya, LG Energy Solution, spin off usaha dari produsen baterai asal Korea Selatan, LG Chem.

Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara perusahaan dengan pemerintah RI sudah dilakukan pada Desember lalu. Namun, LG Chem sampai kini belum mencapai kata final untuk berinvestasi di negara ini. 

Ketua Tim Percepatan Proyek Baterai Kendaraan Listrik (Electric Vehicle/EV Battery) Agus Tjahajana menjelaskan proses negosiasinya masih berlangsung. Perusahaan asal Korea Selatan itu ingin memastikan pasokan bahan baku untuk pembuatan baterai mencukupi hingga beberapa tahun ke depan.

Ia menganggap hal tersebut wajar. “Karena semua mitra khawatir nanti dalam 10 hingga 20 tahun produksinya habis,” ujarnya dalam acara BUMN Media Talk pada Selasa lalu. 

Selain LG Chem, produsen baterai listrik terbesar dunia asal Negeri Panda, Contemporary Amperex Technology atau CATL, juga akan ikut bergabung. CATL bahkan telah menandatangani komitmen investasi sebesar US$ 10 miliar atau Rp 140 triliun. 

Berikut Databoks proyek kapasitas baterai lithium ion di 2028.

CATL dan LG Chem akan masuk dalam proyek holding baterai negara ini yang bernama Indonesia Battery Corporation atau IBC. Di dalam perusahaan induk ini ada empat badan usaha milik negara (BUMN) bergabung, yaitu PT Indonesia Asahan Aluminium (MIND ID), PT Aneka Tambang Tbk, PT Pertamina (Persero), dan PT PLN (Persero).

Holding baterai itu akan menggarap pengembangan baterai kendaraan listrik dari hulu hingga hilir. Wakil Menteri BUMN Pahala Mansury menyebut Indonesia Battery Corporation akan mendukung rantai pasokan kendaraan listrik. "Kami berharap IBC sebagai holding bisa terbentuk di semester pertama tahun ini," kata Pahala.

Ada pula proyek untuk mendukung bisnis baterai yang sedang PT Freeport Indonesia kerjakan. Perusahaan tambang asal AS ini akan membangun pabrik pemurnian atau smelter tembaga. Produk hilirisasi tersebut merupakan bahan baku pembuatan baterai. 

Rencananya, Freeport akan bekerja sama dengan perusahaan asal Tiongkok, Tsingshan Steel dan Huayou Group. Luhut mengatakan ketiga perusahaan akan menandatangani kontrak senilai US$ 2,8 miliar atau Rp 39,2 triliun. “Ini akan melahirkan turunan pabrik pipa dan kawat tembaga, mungkin sampai US$ 10 miliar (sekitar Rp 140 triliun),” ucapnya. 

TESLA-CHINA/DELIVERIES
Pabrik Tesla di Tiongkok. (ANTARA FOTO/REUTERS/Aly Song)

Belajar dari Tiongkok

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam optimistis proyek kendaraan listrik di Indonesia dapat berjalan dengan baik. “Ketegasan untuk tidak lagi mengekspor raw material akan menambah posisi tawar kita,” katanya. 

Indonesia sekarang dapat memilih partner terbaik dalam mengembangkan EV dari hulu hingga hilir. Investor global lebih membutuhkan negara ini, bukan sebaliknya.

Negara ini memiliki posisi kuat dalam hal ketersediaan bahan baku, terutama nikel. "Ini keunggulan yang cukup memperkuat posisi tawar kita. Mereka membutuhkan bahan baku," ucapnya.

Namun, proses pengembangan kendaraan listrik membutuhkan waktu panjang, tidak secepat perkiraan pemerintah. Pencarian partner tidak bisa terburu-buru. Pemerintah harus cermat menganalisis semua proposal yang masuk. Baru setelah itu mengembangkan opsi-opsi terbaik. 

Apabila membandingkan dengan industri mobil listrik di Tiongkok, kondisi Indonesia jauh berbeda. Industri manufaktur di sana sudah berkembang pesat. Dalam hal riset dan pengembangannya atau R&D, negara itu memiliki posisi yang kuat. 

Tesla memiliki pangsa pasar terbesar di negara tersebut. Selain mendirikan pabrikan mobilnya, perusahaan juga bekerja sama dengan CATL, sebagai pemasok baterainya. 

Jadi, tidak heran kalau sekarang Tiongkok menjadi pasar EV terbesar di dunia. Industri hulu hingga hilirnya pun sudah terbentuk. Sumber daya manusianya pun telah tersedia. “Sistem mereka komando, tidak seperti kita,” ujar Piter. 

Indonesia masih harus mengejar ketertinggalan industri kendaraan listrik. Terutama soal riset dan pengembangan serta sumber daya manusianya. “Karena itu, kita masih sangat membutuhkan kerja sama dengan negara lain,” ucapnya. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa pun sepakat dengan hal itu. Industri baterai dan kendaraan listrik butuh waktu panjang untuk sampai pada produksi aktual.  

Sejauh ini perkembangannya cukup positif, dengan adanya rencana jangka menengah. Misalnya, pembentukan konsorsium BUMN baterai pada paruh pertama 2021. 

Begitu pula dengan rencana produksinya di 2024. Hal ini membuat minat investasi menjadi tinggi. “Memang tidak mungkin semua terjadi dalam satu malam,” kata Fabby. 

Pemerintah perlu aktif untuk melakukan negosiasi bisnis kepada pabrikan kendaraan listrik asing. Yang tak kalah penting adalah paket insentif dan perbaikan iklim investasi.

TESLA-CHINA/DELIVERY
Ilustrasi Tesla. (ANTARA FOTO/REUTERS/Yilei S)

Pemerintah Perlu Ciptakan Pasar EV

Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa memperkirakan keberhasilan pengembangan kendaraan listrik akan terlihat dalam lima tahun ke depan. 

Namun, rencana tersebut jangan hanya dilihat dari sisi produsen, tapi juga konsumen. Investor akan tertarik datang ke negara ini kalau permintaannya besar. 

Ia mengusulkan adanya program demand creation terlebih dulu. Caranya dengan membuat peta jalan kendaraan berbasis bahan bakar minyak (BBM) dan gas (BBG) menuju EV. “Investor jadi dapat melihat berapa besar demand-nya,” ujar Iwa. 

Belajar dari Tiongkok, kunci keberhasilan negara itu adalah semua pihak berkomitmen dan konsisten menjalankan roadmap. “Komponen lain perlu menjadi perhatian, seperti industri penggerak (dinamo), rangka dan bodi mesin, serta pendukungnya,” katanya. 

Pengamat energi Fahmi Radhi berpendapat pengembangan kendaran listrik dari hulu hingga hilir masih terseok-seok. Penyebabnya, dengan spesifikasi yang sama, harga jual mobil listrik jauh lebih mahal ketimbang berbahan bakar minyak. Meskipun pemerintah sudah memberikan insentif pajak, namun infrastrukturnya masih belum terbangun secara menyeluruh. Konsumen jadi enggan membelinya. 

Karena itu, pemerintah perlu memperluas insentif pajaknya dan memberikan kemudahan perizinan serta pembebasan lahan. "Pemerintah juga harus menjamin persaingan usaha yang fair antara mobil listrik dengan mobil BBM," ucapnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...