Mewujudkan Kota Masa Depan yang Cerdas dan Berkelanjutan di Indonesia
Jakarta– Saat ini sekitar 55 persen populasi dunia atau lebih dari 4,2 miliar orang tinggal di perkotaan. Bank Dunia (World Bank) memperkirakan bahwa jumlah ini akan terus meningkat hingga dua kali lipat pada 2050.
Oleh karena itu, dengan lebih dari 80 persen PDB global dihasilkan oleh perkotaan, urbanisasi dapat mendorong pertumbuhan berkelanjutan jika dikelola dengan baik, dan juga didukung oleh ide-ide serta inovasi baru.
Namun, cepat dan tingginya urbanisasi menimbulkan permasalahan tersendiri. Kebutuhan terhadap tempat tinggal meningkat dengan cepat. Selain itu, kebutuhan pendukung dasar seperti transportasi, air bersih, dan lapangan pekerjaan harus mampu mengimbangi pesatnya pertumbuhan urbanisasi. Jika tidak terpenuhi, maka konflik serta berbagai masalah sosial dan lingkungan akan muncul.
Indonesia juga akan mengalami hal serupa. Laporan dari Bank Dunia menyebutkan bahwa kota-kota besar di Indonesia berkembang lebih cepat dari negara-negara Asia lainnya. Laju pertumbuhannya mencapai 4,1 persen per tahun. Diperkirakan pada 2025, sebanyak 68 persen penduduk akan tinggal di kota. Sejak 2017, pemerintah telah memulai Gerakan Menuju 100 Smart City.
Smart City adalah istilah umum untuk merujuk pada kota yang telah melakukan investasi signifikan dalam teknologi informasi dan komunikasi untuk menciptakan jaringan cerdas yang mampu mentransmisikan data ke seluruh lingkungan perkotaan menggunakan teknologi nirkabel dan komputasi awan (cloud computing). Pusat data akan berperan penting dalam membangun kota pintar karena Internet of Things (IoT) dan aplikasi pintar memerlukan peningkatan konektivitas, penyimpanan data, dan daya komputasi.
Banyak daerah di Indonesia yang sudah memulai inisiasi menuju smart city. Namun berdasarkan hasil penilaian dari ITB City Innovation Center, saat ini belum ada kota di Indonesia yang tergolong 'Smart'. Umumnya kota-kota di Indonesia baru memasuki tahap integrasi sistem menuju solusi cerdas terintegrasi.
Keberlanjutan inisiatif Smart City ini masih menjadi tantangan. Banyak inisiatif yang tidak berhasil menjaga keberlanjutannya, salah alasannya karena terpengaruh oleh pergantian kepemimpinan daerah seperti Walikota atau Bupati.
Banyak kota yang dinilai masih terjebak pada inisiatif canggih berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagai solusi permasalahan kota, tapi mengabaikan fasilitas dasar seperti zebra cross dan minimnya halte angkutan umum. Selain itu, banyak solusi smart city yang tidak dirancang penuh dengan memperhatikan aspek pendukungnya.
Lalu bagaimana teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan suatu daerah serta kualitas hidup masyarakatnya? Berdasarkan data IEA (International Energy Agency), pusat data di seluruh dunia mengkonsumsi sekitar 250 TWh listrik atau sekitar 1 persen dari seluruh konsumsi listrik global.
Meskipun permintaan berkelanjutan yang eksplosif untuk layanan digital dan teknologi intensif data mendorong peningkatan konsumsi listrik pusat data, salah satu komponen dalam konsumsi ini adalah jumlah listrik yang digunakan untuk mendinginkan pusat data---menyumbang sekitar 33 persen dari total listrik yang dikonsumsi pusat data.
Ukurannya adalah Power Usage Effectiveness (PUE), rasio jumlah total energi yang digunakan oleh fasilitas pusat data dengan energi yang dikirim ke peralatan komputasi. Ketika nilai PUE untuk pusat data lebih besar dari satu, ini berarti pusat data menggunakan lebih banyak energi untuk mendinginkan perangkat keras dibandingkan dengan jumlah energi yang digunakan perangkat keras itu sendiri.
PUE rata-rata global adalah 1,58 dan di beberapa pusat data di negara tropis angka ini dapat naik ke 2,07. Maka dapat disimpulkan bahwa konsumsi listrik dapat dikurangi dengan mengoptimalkan sistem operasi pendinginan.
Umumnya, semakin banyak penggunaan listrik, maka biaya operasional juga akan semakin tinggi karena tagihan listrik serta limbah karbon yang dihasilkan akan jauh lebih tinggi. Beberapa negara di kawasan ASEAN termasuk Indonesia, saat ini sedang mencari cara untuk menekan limbah karbon.
Indonesia telah menetapkan target net-zero terpadu yang akan diterapkan di seluruh sektor industri untuk mewujudkan komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement atau Persetujuan Paris pada 2060. Ke depannya, penggunaan energi yang efisien menjadi hal penting.
Senior Engineer 3M, Amos Wong, mengungkapkan salah satu alternatif untuk mengurangi konsumsi listrik pada pusat data adalah dengan meningkatkan efisiensi pendinginan server. “Udara dingin memiliki keterbatasan dan udara bukanlah medium yang baik untuk memindahkan panas dari server,” kata Wong.
Adanya penggunaan sistem pendinginan imersi (Immersion Cooling), terutama pendinginan imersi dua fase (Two Phase Immersion) dapat membantu meningkatkan PUE di pusat data berpendingin udara tradisional dari 1,7 menjadi 1,02 yang lebih hemat 40 persen ketimbang sebelumnya.
Selain mengurangi konsumsi daya dan jejak limbah karbon pusat data, 3M menyediakan perpindahan panas, cairan dielektrik untuk digunakan dalam berbagai solusi pendinginan pusat data. Ini termasuk pendinginan langsung ke chip, pendinginan satu fase dan pendinginan dua fase. 3M juga bekerja sama dengan beberapa mitra di bidang ini dalam pendinginan imersi.
3M bermitra dengan pembuat server, pembuat tangki, dan pengguna untuk mengembangkan sistem pendinginan imersi yang optimal. Salah satu kasus yang sukses adalah grup Bitfury dengan dengan pusat data 40 megawatt yang memiliki PUE 1,02.
Amos menambahkan, “Cairan dielektrik kami memungkinkan perendaman penuh tanpa masalah apa pun pada sirkuit langsung, dengan demikian memungkinkan desain tangki yang sangat sederhana dalam pendinginan imersi dua fase.”
“Keuntungan lain dengan pendinginan imersi adalah potensi untuk mengurangi atau menghilangkan limbah air melalui penggunaan pendingin kering,” ujar dia.
3M telah berkomitmen menjadi pemimpin dalam keberlanjutan dan Environmental, Social, and Governance (ESG). Upaya 3M yang yang terus berlanjut dalam keberlanjutan dan pengelolaan lingkungan telah dilakukan sejak beberapa dekade lalu dan mencakup pembuatan program Pollution Prevention Pays yang telah berhasil mencegah pengeluaran polusi sebanyak lebih dari dua juta ton.
Sejak 2015, perusahaan berbasis teknologi dan sains ini memperkenalkan 2025 Sustainability Goals yang berfokus pada cara ilmu pengetahuan berperan dalam mendorong perubahan untuk menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan. Dengan memanfaatkan kemampuan perusahaan secara global dan teknologi yang beragam, produk 3M mendorong dampak lingkungan yang positif di seluruh dunia.