Aktivis Lingkungan Kritik Komitmen Iklim Pemerintah di COP26
Para aktivis lingkungan hidup menggelar aksi teatrikal di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta untuk mengkritik komitmen pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim dalam gelaran COP26.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi mengatakan COP26 belum mengarah di jalur yang tepat menjaga suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celsius. Komitmen penurunan emisi semua negara yang terlibat dalam negosiasi justru mengarah pada kenaikan suhu bumi mencapai 2,7 derajat celsius.
Salah satu tema besar yang jadi sasaran kritik adalah mekanisme perdagangan karbon dan offset emisi.
"Skema perdagangan karbon dan offset emisi merupakan skema keliru karena tidak efektif mengurangi emisi secara drastis dan cepat," ujarnya, dalam keterangan resmi, Jumat (5/11).
Zenzi menegaskan sebagai negara kepulauan Indonesia seharusnya mengambil kepemimpinan perundingan iklim. Ia menyebut selain sebagai bangsa yang akan paling menderita oleh perubahan iklim, jalan keluar krisis iklim ada di Nusantara.
Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri ESDM turut berkomitmen dan menyetujui poin-poin kesepakatan yang tertuang Global Coal to Clean Power Transition Statement. Namun Zenzi meyayangkan Indonesia tidak mau berkomitmen untuk menghentikan Izin pembangunan PLTU baru.
Ia menilai hal tersebut kontradiktif dengan rencana pemerintah untuk mempensiunkan dini 5,5 GW PLTU batubara dalam 8 tahun ke depan, namun masih akan terus membangun 13,8 GW PLTU batubara sampai 2030 sebagaimana tertuang dalam dokumen RUPTL PLN.
Sebelumnya, dalam pidatonya Presiden Jokowi menekankan pentingnya peranan pasar dan harga karbon dalam menuntaskan persoalan iklim. Oktober ini, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon bertarif Rp 30 per kilogram CO2e akan diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi batas emisi (cap and tax) yang ditetapkan.
Adapun penetapan harga pajak karbon di angka Rp 30 per kg masih sangat jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan IMF yang menetapkan harga pajak karbon negara berkembang seharusnya berada di kisaran US$ 35-100 per ton CO2e atau Rp 500-1.400 per kg.