PLN Curhat Aturan TKDN Hambat Pengembangan Proyek EBT
PT PLN mengatakan aturan tingkat komponen dalam negeri atau TKDN membuat investasi asing tak tertarik dengan pembangunan pembangkit energi terbarukan di dalam negeri. Penggunaan barang atau jasa yang bersumber dari dalam negeri dinilai kurang sesuai dengan pedoman pengadaan lembaga keuangan internasional yang mengucurkan kredit.
EVP Aneka Energi Baru Terbarukan PLN, Zainal Arifin, menyebutkan rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Hululais, Bengkulu, terhambat karena alasan tersebut.
Dalam proyek itu, PLN telah menggenggam komitmen kucuran dana dari Japan International Cooperation Agency (JICA). Namun, JICA tak melanjutkan realisasi kredit karena kewajiban TKDN yang tak sesuai dengan pedoman pengadaan perusahaan.
"JICA tak bisa teruskan atau approve pendanaan karena local content tak sesuai dengan guideline mereka," kata Arifin dalam diskusi bertajuk 'Bagaimana strategi Indonesia mencapai target bauran 23% energi terbarukan pada tahun 2025?' pada Kamis (27/7).
Kejadian serupa juga terjadi pada pengembangan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Cisokan berkapasitas 1.040 MW yang berada di perbatasan Kabupaten Bandung dan Cianjur, Jawa Barat. International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang merupakan bagian dari World Bank Group awalnya bersedia membiayai proyek dengan pendanaan US$ 380 juta.
"Fenomena ini kami hadapi di beberapa proyek lain, seperti di World Bank tidak setuju di Cisokan dan Bendungan Matenggeng," ujar Arifin.
Menurut Arifin, mayoritas lembaga keuangan global seperti Asian Development Bank, Worldbank, JICA hingga bank pembangunan dan investasi Jerman KfW Bankengruppe menganggap unsur TKDN tidak selaras dengan batas minimal yang ditetapkan oleh masing-masing bank.
Kondisi yang berkepanjangan menimbulkan kekhawatiran soal pendanaan proyek energi baru dan terbarukan (EBT) di dalam negeri. "Karena EBT ini besar dan butuh dana, kami hitung hingga 2030 ada US$ 31 miliar. Tidak mungkin ditopang pendanaan domestik," kata Arifin.
Kewajiban pemenuhan TKDN paling anyar tertulis dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik alias RUPTL 2021-2030. PLN wajib mengakomodir TKDN tinggi untuk pembangunan pembangkit energi biomassa dan biogas milik PLN.
Selain itu, upaya mengenai percepatan pengembangan potensi panas bumi melalui skema kemitraan di wilayah kerja panas bumi (WKP) PLN maupun WKP perusahaan listrik swasta juga bertujuan untuk meningkatkan TKDN.
"Ini yang perlu kami sampaikan, ada kendala signifikan yang kami hadapi terkait pemenuhan local content yang tak sesuai dengan kemampuan industri nasional yang ada," kata Arifin.
Sebelumnya, Dewan Energi Nasional alias DEN memproyeksikan target bauran energi baru dan terbarukan atau EBT sebesar 23% dalam energi primer nasional pada 2025 sulit tercapai. Bauran EBT cenderung menyusut karena minimnya pengalihan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara baru.
Anggota DEN Herman Darnel Ibrahim pesimistis target tercapai karena untuk mengejar target 23% diperlukan penambahan kapasitas sekitar 12 gigawatt (GW) pemanfaatan EBT dalam waktu dua tahun. Hingga saat ini, pemanfaatan EBT dalam bauran energi nasional sekitar 12,3%. Apalagi, berdasarkan data Kementerian ESDM yang mencatat pertumbuhan bauran EBT di energi primer hanya naik 0,1% sepanjang 2022.