Pemerintah Dinilai Tidak Serius Eksekusi Pensiun Dini PLTU
Pemerintah dinilai tidak serius dalam mengimplementasikan rencana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pemerintah baru memprioritaskan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon 1 untuk dipensiunkan menggunakan skema pendanaan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP).
Aktivis lingkungan dari 350.0rg Indonesia, Suriadi menilai ketidak seriusan pemerintah dalam program pensiun dini PLTU juga tercermin dari minimnya target pensiun dini PLTU dalam draf comprehensive investment and policy plan (CIPP) JETP. Dalam draf tersebut, hanya dua PLTU yang masuk daftar pensiun dini yaitu PLTU Cirebon 1 dan PLTU Pelabuhan Ratu.
Menurut Suriadi, hal tersebut cukup aneh karena salah satu PLTU yang masuk pensiun dini, yakni PLTU Cirebon-1, sebenarnya sudah masuk dalam skema ETM (energy transition mechanism/mekanisme transisi energi. Sehingga pemerintah seolah-olah tidak ada niatan untuk benar-benar melakukan penutupan PLTU batu bara.
“Jadi ini tidak serius dan ambisius. Apalagi pensiun dini pada 2 PLTU itu baru dilakukan pada 2037 bukan sekarang," ujarnya saat ditemui Katadata.co.id di sela acara diskusi mengenai CIPP JETP, di Jakarta, Rabu (22/11).
Dia juga menyayangkan langkah penundaan pensiun dini PLTU berbasis batu bara dari PT PLN akibat kurangnya pembiayaan. Padahal, Indonesia sudah meratifikasi dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) berdasarkan konvensi PBB akan perubahan iklim.
Menurut dia, langkah pemerintah menunda pensiun dini PLTU akan berdampak buruk karena memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil di Indonesia. PLTU juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca, serta adanya gangguan kesehatan pada masyarakat.
“Kalau ini sebagai bagian dari komitmen serius negara, apalagi dalam keadaannya oversupply listrik seperti saat ini, maka pensiun dini itu harusnya sekarang, bukan 2037,” kata dia.
Pensiun Dini PLTU Tak Tercantum di Revisi RUPTL PLN
Sebelumnya, PT PLN (Persero) menyampaikan bahwa program pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara tidak masuk dalam draf revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk periode 2024-2033.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan, dalam draf revisi RUPTL tersebut dinyatakan bahwa PLTU batu bara masih akan tetap beroperasi penuh sampai masa akhir kontrak. Namun, dengan penambahan teknologi terbaru yakni Carbon Capture and Storage (CCS).
“Jadi memang PLTU akan tetap beroperasi sesuai masa kontraknya habis, tapi ada penambahan teknologi CSS, dan ada juga penambahan pembangkit gas yang nanti jadi penyeimbang," kata Darmawan ujar Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR, di Jakarta, Rabu (15/11).
Darmawan mengatakan, skenario lainnya yaitu adanya business as usual dengan semuanya berbasis batu bara, semua pembangkit berbasis gas, semua pembangkit berbasis EBT, dan semua pembangkit berbasis EBT dengan pensiun dini PLTU.
Dia menuturkan, untuk skenario business as usual berbasis PLTU sendiri, emisi gas rumah kaca diprediksi akan meningkat menjadi 512 juta ton per tahun di 2040. Sedangkan jika semuanya berbasis gas, akan turun menjadi 407 juta ton per tahun di 2040.
Sementara itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jisman Hutajulu mengatakan, pensiun dini PLTU tidak masuk dalam revisi RUPTL 2024-2033 karena belum adanya suntikan dana. Pasalnya, biaya yang diperlukan untuk pensiun dini PLTU sangat besar.
“Ya iyalah belum ada karena tidak ada pendanaannya, gimana kita mau pensiun dini PLTU, kan di JETP juga gitu,” ujar Jisman saat ditemui awak media, di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (15/11).
Namun demikian, dia mengatakan pemerintah akan tetap melakukan sejumlah upaya untuk bisa mencapai target Net Zero Emission (NZE) atau emisi nol bersih pada 2060.