Investor Nilai Banyak Proyek EBT di RI Kurang Layak, Ini Penyebabnya
Riset yang dilakukan lembaga audit internasional Ernst & Young (EY) menilai bahwa pendanaan bukan hambatan utama dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, khususnya untuk mengembangkan pembangkit surya dan angin skala utilitas. Kendala utama investasi EBT di Indonesia adalah kurangnya proyek yang layak di tanah air karena ada hambatan dalam kebijakan dan proses.
Laporan terbaru dari lembaga audit internasional itu mengambil data dari 170 konsultasi dengan pengembang, pemberi pinjaman, investor, asosiasi industri, dan Direct Foreign Investment (DFI) untuk mendapatkan wawasan mengenai sembilan negara di Asia yang dianalisis, termasuk Indonesia.
Energy Transition and Climate Partner di EY, Gilles Pascual, menyatakan investor dan pemberi pinjaman tertarik pada pasar energi terbarukan Indonesia dan siap mengembangkan proyek. Namun ketergantungan pada pembangkit bahan bakar fosil di sektor ketenagalistrikan menyebabkan kelebihan pasokan listrik yang sangat besar.
“Kelebihan pasokan listrik yang sangat besar itu berada di jaringan utama Jawa-Madura-Bali yang menghambat implementasi energi terbarukan,” ujar Pascual melalui keterangan resmi, Jumat (24/11).
EY mengidentifikasi sejumlah hambatan non finansial yang mencakup panjangnya proses perizinan, kesulitan pembebasan lahan, kurangnya rantai pasokan lokal, dan persyaratan konten yang sulit dipenuhi.
Semua faktor tersebut berdampak langsung terhadap risiko proyek, jangka waktu, biaya dan kelayakan bank secara keseluruhan. Hal itu mempengaruhi persyaratan pembiayaan, dan membuat pinjaman menjadi lebih mahal.
Laporan EY menggarisbawahi bahwa faktor-faktor tersebut mungkin membatasi akses terhadap pendanaan yang tersedia, tergantung pada tingkat keparahan risikonya.
Hambatan khusus yang diidentifikasi untuk Indonesia meliputi:
• Pertumbuhan sektor tenaga surya dan angin sebagian besar masih bergantung pada penghentian dini pembangkit listrik tenaga batu bara (CFPP).
• Kurangnya kejelasan peraturan pengadaan dan prosedur tender.
• Tarif negosiasi yang rendah mempengaruhi bankability PPA
Rekomendasi untuk mengatasi hambatan:
• Sinyal kebijakan yang kuat dan penghentian penggunaan batu bara secara tepat waktu untuk menarik minat pasar.
• Mendirikan badan khusus untuk memperlancar proses pengadaan tanah.
• Pengembangan model PPA untuk mengurangi jadwal negosiasi.
Pascual menyatakan.
“Untuk mendorong pertumbuhan energi terbarukan, Indonesia perlu memprioritaskan pengembangan jaringan listrik yang permintaannya belum terpenuhi, apalagi ketika energi terbarukan lebih menguntungkan secara ekonomi ketimbang menggunakan diesel atau bahan bakar fosil lainnya,” ujar Pascual.
Dia mengatakan pensiun dini PLTU merupakan keharusan agar pasar energi terbarukan berkembang pesat. Hal itu terutama untuk jaringan listrik utama di Jawa-Bali.
Menurut laporan International Energy Agency (IEA), Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang punya potensi peningkatan kapasitas tenaga surya dan angin hingga tiga kali lipat pada 2030.
Indonesia juga memiliki sumber daya angin yang melimpah, yang telah memicu minat besar terhadap potensi pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai di Indonesia, bersama dengan Jepang, Korea Selatan, Vietnam, dan Filipina.
Penggunaan sumber daya terbarukan di Asia dapat memberikan berbagai manfaat termasuk keamanan energi, pertumbuhan ekonomi, dan pengurangan emisi.
Selagi perwakilan berbagai negara berkumpul di COP28 untuk membahas target tiga kali lipat kapasitas terpasang energi terbarukan pada 2030, Indonesia berkesempatan menciptakan lingkungan kebijakan dan peraturan untuk membuka investasi yang tertunda senilai miliaran dolar dan meningkatkan kemajuan menuju target energi terbarukan.