Hidrogen Hijau Jadi Ultimate Goal untuk Bahan Bakar Masa Depan
Staf Khusus Menteri Perhubungan Wihana Kirana Jaya mengatakan, kendaraan berbahan bakar hidrogen hijau atau green hydrogen menjadi titik akhir kendaraan yang paling sedikit mengeluarkan emisi karbon.
Ia melihat, tahapan untuk dapat menuju kendaraan berbahan bakar hidrogen harus dilakukan secara bertahap. Saat ini, sumber bahan bakar yang paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah bahan bakar minyak (BBM).
"Itu bertahap dari grey (berbasis BBM), menuju electric vehicle (EV) kemudian baru hidrogen. Hidrogen adalah ultimate goal," ujar Wihana, saat ditemui di Jakarta, Kamis (20/6).
Wihana mengatakan kendaraan berbahan bakar hidrogen hijau merupakan salah satu strategi yang cukup bagus untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Pasalnya, kendaraan berbahan bakar hidrogen hijau menghasilkan emisi karbon yang lebih sedikit. Apalagi, sumber daya energi hijau ini cukup besar di Indonesia.
Meski begitu, untuk dapat mencapai tahap akhir di mana masyarakat mengadopsi kendaraan berbasis hidrogen hijau. Produk tersebut harus memiliki daya saing dengan kendaraan berbahan bakar fosil.
Dengan kata lain, harus ada insentif dan infrastruktur yang kuat untuk menciptakan ekosistem kendaraan berbahan bakar hidrogen hijau di Indonesia.
"Harus punya competitiveness advantage, (pengembangan hidrogen hijau) harus diberi insentif, dia harus diberi infrastruktur dan teknologi yang betul-betul mendorong investor untuk membangun ekosistemnya kalau terpenuhi skala ekonominya," ujarnya.
Pemanfaatan hidrogen dan amonia menjadi salah satu rencana pemerintah untuk mencapai target NZE 2060. Hidrogen dan amonia dinilai bisa menjadi sumber energi bersih untuk menggantikan bahan bakar fosil.
Melansir dokumen "Peta Jalan Menuju Emisi Nol Bersih pada Sektor Energi di Indonesia" yang diterbitkan oleh Internasional Energy Agency (IEA) pada Oktober 2022, daya listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik hidrogen ditargetkan mencapai 220 terawatt-jam pada 2060.
Angka itu hampir menyentuh total permintaan saat ini di semua sektor. Meski begitu, dokumen itu belum menjelaskan secara detail perihal sektor mana saja yang bakal memanfaatkan hidrogen hijau.
Laporan tersebut menuliskan, pengembangan sumber energi hidrogen akan secara bertahap berjalan seiring menurunnya peran pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang mencapai puncaknya pada 2030. Namun, semua itu akan tetap sulit tanpa adanya dukungan kebijakan.
Butuh Pendanaan Jumbo
Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat bahwa diperlukan pendanaan investasi sebesar US$800 juta atau Rp 12,46 triliun untuk megejar target kapasitas produksi hidrogen hijau sebesar 328 megawatt (MW) pada awal 2030.
Nilai investasi itu diprediksi akan makin besar seiring peningkatan produksi hidrogen hijau dari tahun ke tahun. Menurut IESR, kapasitas produksi hidrogen hijau di Indonesia akan mencapai 52 gigawatt (GW) pada 2060 dengan total investasi mencapai US$ 25 miliar.
Tingginya biaya produksi hidrogen hijau disebabkan oleh tingginya biaya proses elektrolisis untuk memisahkan hidrogen dari air (H2O). IESR mencatat, biaya produksi hidrogen hijau di Indonesia diperkirakan sekitar US$ 3- US$ 12 per kilogram (kg), tergantung pada teknologi yang digunakan dan lokasi proyek.
Biaya produksi hidrogen hijau diharapkan turun menjadi sekitar US$ 2 per kg. Hal ini seiring dengan persaingan harga dari produksi hidrogen dari bahan bakar fosil dengan teknologi penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) atau biasa disebut hidrogen biru.
Potensi pemanfaatan hidrogen hijau yang punya sifat fleksibel dan serba guna dipandang sebagai daya tarik para investor. Hidrogen hijau bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sektor energi, kimia, hingga metalurgi. "Namun, pengembangan hidrogen membutuhkan kebijakan untuk membantu menurunkan biaya produksi energi terbarukan sebagai syarat utama penyumbang biaya produksi hidrogen hijau," tulis laporan tersebut