Tidak Terkendali, Kapasitas PLTU Captive Indonesia Melonjak 42% dalam Setahun
Kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive melonjak dalam setahun terakhir yaitu tumbuh 42 persen. Kondisi tersebur terjadi dua tahun setelah Indonesia menandatangani Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan, Just Energy Transition Partnership (JETP).
Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM), bertajuk Tracing Indonesia's captive power growth: No sign of slowdown in 2024. . Dalam rentang Juli 2023 hingga Juli 2024, kapasitas PLTU captive tercatat bertambah 4,5 gigawatt (GW), menjadi 15,2 GW.
Jumlah tersebut mendominasi kenaikan total PLTU yang mencapai 7,2 GW. Mengacu laporan ini, kapasitas PLTU captive di Indonesia diperkirakan akan mencapai 17,1 GW pada akhir tahun ini
PLTU captive adalah pembangkit listrik tenaga uap yang dimiliki dan dioperasikan oleh perusahaan tertentu untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri. Pembangkit listrik ini berada di luar jaringan PLN.
Pada 2026, kapasitas PLTU captive diprediksi mencapai 26,24 GW, lebih besar dari total kapasitas PLTU Australia saat ini sebesar 22,9 GW. Kapasitas ini setara 40% bauran kapasitas pembangkit utama di luar PT PLN (Persero) dan produsen listrik swasta, Independent Power Producer (IPP).
Analis CREA, Katherine Hasan, mengatakan keinginan dan kemampuan Indonesia untuk memenuhi komitmen iklim global terlihat jelas dalam JETP dan rancangan Kontribusi Nasional Kedua, Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang baru-baru ini dirilis. Namun, efektivitas tindakan-tindakan ini terancam oleh kapasitas batu bara yang terus meningkat di industri-industri inti Indonesia.
"Menetapkan jadwal yang jelas dan ambisius pensiun dini PLTU dan integrasi energi terbarukan tidak hanya akan mendukung target iklim pemerintah, namun juga membantu menarik investasi energi ramah lingkungan yang dibutuhkan Indonesia untuk mengamankan posisi strategis dalam rantai pasokan energi terbarukan global,” kata Katherine melalui keterangan tertulis, Jumat (8/11),
PLTU captive di Indonesia sebagian besar ditujukan untuk memenuhi permintaan industri padat energi, diantaranya industri logam, pulp dan kertas, kimia, semen, serta tekstil. Penambahan terbesar untuk menopang industri pengolahan logam, terutama nikel.
Meskipun nikel merupakan logam penting untuk pengembangan kendaraan listrik dan baterai, penggunaan PLTU captive merupakan salah satu rute yang paling banyak menghasilkan emisi karbon untuk memenuhi permintaan ini.
Tak hanya itu, dampak kesehatan dan ekonomi dari pembangunan PLTU captive yang tidak terkendali akan membawa bencana besar bagi Indonesia. Analisis terhadap kompleks industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara menunjukkan, paparan polusi udara dari proses peleburan berbasis batu bara dan pengoperasian PLTU captive akan menyebabkan hampir 5.000 kematian pada 2030 dan menimbulkan beban ekonomi sebesar Rp 56 triliun (US$ 3,42 miliar). Hal itu terjadi dengan laju pertumbuhan saat ini dan tanpa adanya penguatan standar emisi dan lingkungan.
Sementara itu, pengecualian PLTU captive dari target penghentian penggunaan batubara pada tahun 2040 akan menyebabkan 27.000 kematian tambahan dan beban ekonomi sebesar Rp 330 triliun (US$ 20 miliar) akibat dampak kesehatan kumulatif di tingkat nasional.
Peneliti GEM, Lucy Hummer, mengatakan penyertaan peta jalan pensiun PLTU captive dalam rencana nasional Indonesia tidak hanya akan mendukung upaya transisi energi dan target iklim pemerintah, namun juga akan memberikan sinyal positif untuk investasi energi bersih dan ramah lingkungan.
Dia mengatakan, mengatasi peran batu bara dalam transisi energi di Indonesia seharusnya tidak hanya terbatas pada sektor ketenagalistrikan saja. Jalur yang jelas untuk PLTU captive juga penting.
"Sebagai pemasok pemasok utama mineral kritis dalam rantai pasok energi bersih global, Indonesia perlu memperbaiki rencana nasionalnya dan memensiunkan PLTU captive untuk dekarbonisasi industri padat energi, seperti industri nikel. Sebuah proses yang membutuhkan investasi dan tata kelola yang kuat,” kata Lucy.