Berbeda dengan Hashim, Kementerian ESDM Ungkap AS Sudah Kucurkan Dana JETP

Ringkasan
- Transisi energi krusial untuk menjaga daya saing industri Indonesia di pasar global yang beralih ke produk hijau dan ramah lingkungan.
- Isu lingkungan, ketahanan energi, dan kepemimpinan internasional menjadi alasan mendesak untuk transisi energi, terutama di sektor industri.
- Panas bumi dan bioenergi berpotensi menjadi sumber energi alternatif yang signifikan, namun regulasi yang jelas diperlukan untuk pemanfaatan bioenergi yang berkelanjutan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan saat ini sudah ada pembiayaan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dikucurkan oleh Amerika Serikat ke Indonesia. Dana tersebut adalah untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi atau PLTP Ijen.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengatakan AS sudah mengucurkan investasi sebesar US$ 126 juta untuk PLTP Ijen hingga akhir tahun lalu.
"AS itu kemarin mengorganisir JETP dan realisasinya sampai dengan akhir tahun lalu hanya satu, yang lain belum terealisasi," kata Eniya saat Rapar Kerja dengan Komisi XII, seperti dipantau dari tayangan Youtube Komisi XII DPR, Rabu (19/2).
Namun pasca mundurnya AS dari JETP, Eniya mengatakan, saat ini mulai ada pergerakan dari negara donor lain yaitu Uni Eropa. Salah satunya dana hibah dari Uni Eropa untuk pengembangan energi baru terbarukan kepada PLN.
Pernyataan tersebut berbeda dengan Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo. Dia menilaiJETP adalah program gagal karena belum ada satu pun dana yang dikucurkan oleh Pemerintah AS melalui program tersebut.
Hashim mengatakan program JETP sebesar US$ 20 miliar atau setara Rp 327 triliun yang sebelumnya dijanjikan pemerintahan AS, sudah pasti akan dihapus oleh pemerintahan Donald Trump.
"Banyak omon-omon ternyata. Hibah US$ 5 miliar dalam US$ 20 miliar itu ternyata gak ada," kata Hashim dalam acara ESG Sustainability Forum 2025 di Jakarta yang dipantau secara daring, Jumat (31/1).
Dia mengatakan terdapat klausul yang menyatakan bahwa hibah US$ 5 miliar yang akan dikucurkan oleh pemerintah AS, baru bisa dicairkan jika dana tersedia. Namun setelah dicek kapan dana tersebut bisa dihibahkan, pemerintah AS menyatakan bahwa dana tersebut tidak tersedia.
"Ini realita pak, yang saya dengar dari kawan-kawan PLN. Jadi kita jangan harapkan deh US$ 20 miliar," ujarnya.
Pembangunan PLTP Ijen Dikritik
Direktur Advokasi Tambang Celios, Wishnu Try Utomo, mengatakan proyek JETP di Indonesia sudah berjalan di beberapa proyek pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT).
“Fakta bahwa PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) Ijen didanai oleh lembaga AS,” ujar Wishnu dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (19/2).
Wishnu mengatakan, proyek PLTP Blawan-Ijen di Jawa Timur dikelola oleh PT Medco Cahaya Geothermal. Proyek ini telah mendapatkan pendanaan dari berbagai sumber, termasuk US$126 juta dari DFC (United State International Development Finance Corporation).
“Serta menjadi bagian dari US$1 miliar investasi ekuitas dan pinjaman yang dialokasikan untuk delapan proyek energi terbarukan,” ujarnya.
Namun, ia menyayangkan pembangunan PLTP tersebut mengabaikan beberapa aspek prinsip keadilan, akuntabilitas, dan transparansi. Hal itu tidak sesuai dengan yang dijanjikan dalam dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) JETP.
Selain itu, berdasarkan studi yang dilakukan Celios menemukan adanya perbedaan antara dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) PLTP Ijen dengan yang berada di lapangan. Berdasarkan temuan di lapangan menunjukan bahwa sosialisasi hanya dilakukan kepada Forum Kepala Desa yang dihadiri oleh Camat, Polsek, Koramil, dan jajaran Kepala Desa di Kecamatan Ijen.
“Prinsip berkeadilan dalam CIPP tidak diterapkan selama proyek PLTP Ijen berjalan, bahkan ketika warga mengalami kerugian sosial-ekonomi yang disebabkan oleh PLTP Ijen, saluran pengaduan bagi warga terhadap perusahaan tidak berjalan,” ucapnya.
Ia mengatakan, PT MCG juga tidak memenuhi permohonan mediasi yang diajukan oleh warga. Dimana, dalam riset ini ditemukan belasan masalah yang ditimbulkan oleh PLTP Ijen terhadap warga.
“Sebenarnya warga juga sudah mengadu ke perusahaan dengan mengirimkan surat permohonan mediasi, namun pihak perusahaan tidak memenuhinya,” ungkapnya.
Sementara itu, Peneliti Celios, Muhammad Husnudin, mengatakan PLTP Ijen tidak memberikan manfaat kepada masyarakat dan keuntungan yang dihasilkan lebih banyak mengalir ke sektor indusrti dan pariwisata di luar wilayah.
“Ketimpangan ini diperburuk oleh tidak diakuinya sistem sewa-menyewa lahan antara warga dan Perhutani oleh PT Medco Cahaya Geothermal (MCG), menyebabkan banyak warga yang kehilangan lahan pertaniannya,” ujar Husnudin.
Husnudin mengatakan, proyek ini tidak hanya merampas sumber daya alam masyarakat sekitar Pegunungan Ijen, tetapi juga mempercepat perpecahan sosial dan ekonomi, di mana masyarakat kehilangan ruang hidup mereka dan menghadapi degradasi lingkungan tanpa kompensasi yang layak.
“CELIOS mendesak Pemerintah Pusat, PT Medco Cahaya Geothermal, dan juga DFC, untuk bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan, dengan memberikan kompensasi yang adil serta memastikan keterlibatan aktif masyarakat dalam kebijakan energi yang mempengaruhi kehidupan mereka,” ucapnya.