Produsen Panel Surya Indonesia dan Laos Genjot Ekspor ke AS


Produsen panel surya di Laos dan Indonesia, yang sebagian besar dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok, meningkatkan pangsa pasar mereka di Amerika Serikat (AS) setelah tarif tinggi diberlakukan pada ekspor dari negara-negara Asia Tenggara lainnya termasuk Kamboja dan Thailand.
Pemerintah AS menyelesaikan pengenaan tarif tinggi atas impor sel dan modul surya dari Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja pada April 2025, menyusul dua putaran tarif pada bulan Juni dan November tahun lalu. Pengenaan tarif ini untuk mencegah praktik dumping oleh pabrik-pabrik yang sebagian besar dimiliki oleh Tiongkok di negara-negara tersebut.
Namun, perusahaan-perusahaan Tiongkok telah memindahkan produksi mereka ke Indonesia dan Laos serta meningkatkan ekspor ke AS, seperti yang ditunjukkan oleh laporan Reuters.
Gabungan pangsa pasar Indonesia dan Laos di pasar modul surya Amerika Serikat naik menjadi 29% dalam tiga bulan setelah putaran kedua bea masuk AS diberlakukan pada akhir November 2024. Pada 2023, pangsa pasar panel surya dari Indonesia dan Laos kurang dari 1%.
Para analis dan pakar industri mengatakan kapasitas produksi di Asia Tenggara, yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Cina, hampir seluruhnya didirikan untuk menghindari tarif dan memasok pasar AS dengan harga premium di atas harga global.
Yana Hryshko, kepala riset rantai pasok tenaga surya global di perusahaan konsultan Wood Mackenzie, mengatakan seluruh kapasitas manufaktur tenaga surya di empat negara Asia Tenggara yang terkena tarif tinggi kemungkinan besar akan "ditutup atau dikurangi secara dramatis".
Perubahan Jalur Perdagangan
Ekspor panel surya dari Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja ke AS turun sebesar 33% secara tahunan dalam sembilan bulan sejak putaran pertama tarif pada Juni 2024. Pada periode yang sama, ekspor dari negara tetangga regional, Indonesia dan Laos, tumbuh sekitar delapan kali lipat.
Secara keseluruhan, impor panel surya AS telah turun 26% sejak Juni, dengan gabungan pangsa pasar keempat negara tersebut merosot dari 82% pada 2024 menjadi 54% dalam tiga bulan setelah putaran kedua tarif pada akhir November 2024.
Impor sel surya AS telah meningkat tiga kali lipat sejak putaran pertama tarif, meskipun biaya impor dari negara-negara yang ditargetkan lebih tinggi. Namun, Indonesia dan Laos tetap menggerogoti pasar karena ekspor mereka melonjak sekitar 17 kali lipat.
Sel surya menyumbang sekitar 28% dari seluruh impor tenaga surya AS sejak putaran pertama tarif, dibandingkan dengan 6,5% pada tahun 2023, menurut data tersebut.
"Produsen Cina sudah merevisi strategi ekspor karena kekhawatiran tentang tarif terhadap Indonesia dan Laos," kata Fei Chen, analis riset tenaga surya di perusahaan konsultan Rystad Energy, seperti dikutip Reuters, Rabu (7/5).
"Beberapa produsen tenaga surya berencana untuk mendirikan basis produksi di wilayah di luar Asia Tenggara seperti Turki, Oman, Arab Saudi, UEA, Ethiopia, untuk memasok pasar AS," katanya.
Data dari lembaga think-tank energi Ember menunjukkan, pabrik-pabrik di Tiongkok yang sebagian besar tidak dapat memasuki pasar AS selama lebih dari satu dekade karena bea masuk yang tinggi, telah meningkatkan penjualan panel surya ke Asia dan Afrika.
Asia menyumbang 37% dari seluruh ekspor Tiongkok pada kuartal pertama 2025, naik dari 25,4% pada 2024. Sementara itu, data Ember juga menunjukkan pangsa ekspor Cina ke Eropa menurun menjadi 34% pada kuartal I 2025 dari 41% pada 2024.