Transisi Energi RI Dinilai Masih Terhambat Ketergantungan pada Batu Bara dan Gas
Policy Strategist CERAH (Center for Energy Research and Advocacy on Humanity), Wicaksono Gitawan, menilai arah transisi energi Indonesia masih belum sepenuhnya konsisten dengan komitmen menuju net zero emission.
Menurut Wicaksono, meskipun pemerintah telah menetapkan target transisi energi dan moratorium pembangunan PLTU baru, kebijakan energi nasional masih membuka ruang besar bagi penggunaan bahan bakar fosil hingga beberapa dekade mendatang.
Berdasarkan proyeksi Kebijakan Energi Nasional (KEN), batu bara masih akan digunakan hingga tahun 2060 dengan porsi sekitar 7,8%–11,9%, sementara gas tetap menempati 14,4%–15,4% bauran energi nasional.
“Masih ada solusi-solusi yang digunakan untuk memperpanjang usia energi fosil, seperti biomassa yang porsinya saya highlight mencapai 12–13,4%. Ini menunjukkan bahwa fase transisi kita masih sangat panjang,” ujar Wicaksono dalam acara CERAH Expert Panel di Jakarta, Jumat (17/10).
Wicaksono menjelaskan, penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022 tentang moratorium pembangunan PLTU baru awalnya disambut positif oleh masyarakat sipil. Namun, aturan tersebut masih memberikan sejumlah pengecualian.
“Termasuk di dalam perpres itu masih diperbolehkan pembangunan PLTU untuk kebutuhan industri atau PLTU captive, serta PLTU yang dicampur dengan energi terbarukan,” katanya.
Ia menambahkan, aturan turunan dari kebijakan tersebut, yakni Permen ESDM No. 10 Tahun 2025, yang menjadi peta jalan transisi energi sektor kelistrikan, juga masih menyisakan kelemahan mendasar.
“Dalam dokumen itu tidak ada daftar PLTU yang akan dipensiunkan, tidak memasukkan PLTU captive, dan timeline-nya juga kurang jelas. Padahal ini seharusnya menjadi panduan utama untuk memastikan transisi berjalan terukur,” kata Wicaksono.
Wicaksono juga menyoroti ketidaksinkronan antara Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) milik PLN.
Menurutnya, dua dokumen tersebut memiliki target bauran energi terbarukan yang berbeda untuk tahun 2034, yakni 29,4% dalam RUKN dan 34,3% dalam RUPTL.
“Padahal secara hierarki, RUKN harusnya menjadi acuan di atas RUPTL. Tapi justru RUPTL terlihat lebih ambisius,” ujarnya.
Rencana Pembangunan PLTU Hybrid
Dalam RUPTL terbaru, pemerintah juga untuk pertama kalinya mencantumkan rencana pembangunan PLTU hybrid, yakni pembangkit batu bara yang dicampur dengan energi terbarukan. Namun, porsi energi terbarukan dalam proyek tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan kapasitas PLTU-nya.
“Ini sebenarnya loophole dari Perpres 112, yang secara prinsip melarang PLTU baru, tapi masih memberi ruang lewat mekanisme co-firing atau proyek hybrid,” kata Wicaksono.
Dalam proyeksi hingga 2060, CERAH mencatat bahwa batu bara akan tetap dipertahankan melalui strategi co-firing biomassa serta penerapan teknologi carbon capture di sejumlah PLTU.
“Kalau kita lihat di proyeksi RUKN, sekitar tahun 2030-an PLTU akan mulai dicampur dengan biomassa kayu dan teknologi penangkap karbon. Artinya, meskipun intensitasnya menurun, batu bara masih digunakan dalam sistem energi kita hingga 2060,” ujarnya.
Wicaksono menegaskan, kebijakan semacam ini menunjukkan transisi energi Indonesia belum benar-benar beralih dari fosil ke energi bersih, melainkan hanya memperpanjang usia teknologi lama dengan sedikit penyesuaian.
“Jadi kalau dilihat yaaah masih panjang (untuk capai target net zero) ya karena batu bara masih dipakai,” katanya.
