Infrastruktur dan Nilai Ekonomi Jadi Kunci Sukses Transisi Kendaraan Listrik
Sejumlah survei yang diselenggarakan beberapa lembaga pemerhati konsumen menemukan infrastruktur pengisian daya masih menjadi hambatan utama masyarakat beralih ke kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Keterbatasan akses terhadap infrastruktur, baik stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) maupun fasilitas pengisian daya di rumah (home charging) masih menjadi tantangan adopsi kendaraan listrik.
Untuk home charging, tantangan utama terletak pada prosedur menaikkan daya listrik rumah dan instalasi sarana pengisian daya. Hal ini membebani pengguna dan membutuhkan intervensi kebijakan agar lebih aksesibel. Di sisi lain, industri membutuhkan insentif untuk membangun infrastruktur pengisian daya publik agar SPKLU dapat berkembang cepat dan lebih luas.
Studi Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) pada 2025 juga menunjukkan biaya pengisian daya kendaraan listrik di Indonesia tergolong murah. Studi ini juga menggali persepsi dan perilaku masyarakat terkait kendaraan listrik dan infrastruktur pengisian daya di wilayah-wilayah prioritas, seperti Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Kedungsepur (Kendal, Demak, Semarang, Salatiga, Purwodadi), dan Mamminasatapa (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar, Pangkep), serta wilayah lapis kedua seperti Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul).
Studi ITDP juga menunjukkan dari sisi ekonomi, investasi elektrifikasi terbukti memberikan nilai balik yang positif. "Untuk menghadirkan 100% armada transportasi publik di wilayah perkotaan hingga 2030, Indonesia berpotensi memperoleh manfaat sosial dan lingkungan jangka panjang senilai hingga 2,4 kali dari nilai investasi yang dikeluarkan," ujar Gonggomtua Sitanggang, Direktur Asia Tenggara ITDP Indonesia, di Jakarta, Sabtu (1/11).
Profesor John Ko, Advisor Hanyang University/ENVELOPS, mengatakan di Indonesia 80% kendaraan pribadi adalah sepeda motor. Oleh karena itu, transisi menuju kendaraan listrik bisa dimulai dengan beralih ke motor listrik.
Menurutnya ada beberapa hal yang bisa mendorong penggunaan kendaraan listrik atau motor listrik. Pertama, harga kendaraan listrik atau motor listrik yang terjangkau. Kedua, teknologi baterai kendaraan listrik yang dapat diandalkan. Ketiga, keamanan dalam penggunaan kendaraan listrik.
"Yang akan menjadi game changer untuk penggunaan motor listrik adalan investasi di pengisian daya sehingga masyarakat lebih mudah menerima kendaraan listrik," ujar Profesor Ko.
Pilot project penggunaan motor listrik (bike sharing) telah dilakukan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Profesor Ko menyebut motor listrik roda dua dan roda tiga itu digunakan untuk aktivitas mahasiswa di IPB. Motor listrik ini diisi dengan daya yang berasal dari energi surya sehingga menghemat biaya operasionalnya.
Motor Listrik Lebih Irit
Alitt Susanto, Konten Kreator dan Influencer Otomotif, mengungkapkan pengalamannya menggunakan motor listrik selama tiga tahun terakhir. Menurutnya biaya charging untuk motor listrik hanya Rp 5 ribu per minggu sedangkan motor berbahan bakar minyak (BBM) bisa menghabiskan Rp 50 ribu per minggu. "Dalam tiga tahun hanya ganti sparepart kampas rem, tidak ada ganti oli dan lain-lain," ujarnya.
Sementara itu, Rinawaty Sinaga, Public Relations AISMOLI, mengungkapkan pertumbuhan penjualan motor listrik tahun ini melambat karena tidak ada lagi subsidi dari pemerintah.
"Tahun ini tidak ada subsidi pun ada growth, tapi pemerintah maunya secepat apa? Kalau mau mencapai 13 juta motor listrik di 2030 itu butuh subsidi untuk akselerasi," ujar Rinawaty.
Ia juga berharap pemerintah konsisten membuat aturan yang mendukung perkembangan kendaraan listrik. "Pemerintah harus walk the talk. Kalau beli kendaraan, ya pemerintah beli kendaraan listrik," ujarnya.
