Indonesia Perkuat Agenda Pendanaan Energi Bersih & Transisi Berkeadilan di COP30

Ardhia Annisa Putri
Oleh Ardhia Annisa Putri - Tim Publikasi Katadata
26 November 2025, 11:08
Sesi “Financing More Ambitious Renewable Energy Development in Indonesia” yang digelar di Paviliun Indonesia pada gelaran Conference of the Parties (COP) ke-30 di Belem, Brasil, Senin (17/11). Sesi ini membicarakan pentingnya pendanaan transisi energi yan
Katadata
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Indonesia kembali menunjukkan komitmen kuatnya dalam memimpin transformasi energi berkelanjutan pada sesi “Financing More Ambitious Renewable Energy Development in Indonesia” yang digelar di Paviliun Indonesia pada gelaran Conference of the Parties (COP) ke-30 di Belem, Brasil, Senin (17/11).

Melalui kesempatan ini, Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa transisi energi bukan hanya jawaban terhadap krisis iklim, melainkan strategi pertumbuhan ekonomi jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045.

Asisten Deputi Percepatan Transisi Energi Kemenko Perekonomian, Farah Heliantina, menekankan bahwa Indonesia kini memasuki fase krusial dalam implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emission (NZE).

“Transisi energi bukan beban, tetapi motor pertumbuhan berikutnya,” ujarnya, seraya menegaskan kebutuhan pembiayaan hijau yang mencapai US$470 miliar untuk memenuhi target penurunan emisi dan menciptakan lapangan kerja hijau secara inklusif.

Farah menambahkan bahwa Indonesia tengah memperkuat kualitas investasi melalui reformasi perizinan dan kerja sama multilateral, serta menilai keberhasilan transisi energi bergantung pada terciptanya iklim usaha yang konsisten agar modal domestik dan internasional dapat mengalir lebih efektif ke proyek energi terbarukan.

Pandangan ini diperkuat oleh Analis Senior Kebijakan Publik Kemenko Perekonomian, Axel Priambodo, yang menjelaskan upaya Indonesia membangun ekosistem ekonomi rendah karbon berbasis energi bersih dan industri hijau.

Menurut Axel, Indonesia perlu memastikan energi terbarukan menjadi penopang utama daya saing industri, terutama dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen dan komitmen NZE 2060. Ia memaparkan potensi besar Indonesia sebagai pusat manufaktur teknologi bersih global berkat kekuatan hulu-hilir, mulai dari mineral kritis hingga industri baterai dan kendaraan listrik.

Menurutnya, upaya yang dilakukan Indonesia bukan sekadar membangun pembangkit energi terbarukan, tetapi membangun ekosistem ekonomi baru berbasis green value creation. Pendekatan ini diharapkan mampu menarik lebih banyak investasi jangka panjang dan mempercepat transformasi struktur ekonomi nasional.

Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partner (JETP) Indonesia, Paul Butarbutar, juga menekankan bahwa JETP dirancang untuk mengakselerasi perubahan melalui platform pembiayaan yang lebih terarah dan terukur.

Paul menegaskan bahwa keberhasilan JETP akan diukur dari kemampuannya mengalirkan pendanaan tepat sasaran ke sektor prioritas seperti energi terbarukan, efisiensi energi, geotermal, dan penguatan transmisi.

“JETP adalah platform transformasi. Setiap investasi yang masuk harus mendorong pengurangan emisi dan memperkuat industri energi bersih kita,” ujarnya.

Paul menambahkan bahwa beberapa studi tematik mulai dari energi terbarukan, elektrifikasi, hingga kerangka transisi berkeadilan akan menjadi acuan penting bagi pemerintah dalam menyempurnakan kebijakan yang ramah investasi dan berkelanjutan. “Kita harus memastikan setiap proyek tidak hanya hijau di atas kertas, tetapi juga berkelanjutan bagi masyarakat dan sistem energi nasional,” tegasnya.

Kebutuhan untuk memperluas akses pendanaan juga diperkuat oleh Senior Climate Change Specialist Asian Development Bank (ADB), Esmyra Javier. Esmyra menegaskan bahwa blended concessional finance adalah salah satu mekanisme paling efektif untuk menurunkan risiko proyek energi terbarukan.

ADB, menurutnya, telah membuktikan bahwa dana konsesional dapat menarik investasi swasta dalam jumlah besar, memberikan leverage yang signifikan bagi proyek-proyek besar di Indonesia. “Investor membutuhkan kepastian baik dari sisi regulasi, tata kelola, maupun kesiapan proyek,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya policy-based lending sebagai instrumen untuk mendorong reformasi yang memperkuat iklim investasi. Dalam pandangannya, keberhasilan Indonesia menarik pembiayaan skala besar akan sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah menjaga konsistensi kebijakan lintas kementerian.

“Stabilitas regulasi adalah mata uang baru dalam investasi hijau,” tegasnya.

Keadilan Sosial Penting bagi Agenda Transisi Energi

Program Officer Ford Foundation, Maryati Narto Prayitno, menegaskan bahwa elemen keadilan sosial harus menjadi pusat dari seluruh agenda transisi energi.

Ia menyoroti pentingnya partisipasi publik, perlindungan masyarakat terdampak, dan akses terhadap pembiayaan bagi komunitas lokal. Tanpa hal tersebut, transisi energi dapat menciptakan ketimpangan baru.“Kita tidak boleh hanya berbicara soal gigawatt. Kita harus berbicara soal manusia,” ujarnya.

Akses terhadap pendanaan juga harus tersedia bagi komunitas lokal, lanjut Maryati, terutama yang hidup di sekitar kawasan industri, pembangkit, atau wilayah yang menghadapi perubahan ekonomi akibat phase-out batu bara.

“Transisi energi yang adil berarti masyarakat bukan hanya terdampak, tetapi juga mengambil peran dalam menentukan masa depan energi di wilayahnya,” tambahnya.

Senada, Head of Environmental Governance Indonesian Center of Environmental Law (ICEL), Marsya M. Handayani juga menekankan pentingnya sistem yang memungkinkan masyarakat memantau implementasi proyek energi bersih dari perencanaan hingga dampak lapangan. Marsya juga menyoroti bahwa mekanisme keluhan, akses informasi, dan penegakan hukum harus menjadi bagian transisi energi agar proyek berjalan dalam sistem yang adil.

Sesi tersebut juga menghadirkan Acting COO South African Presidential Climate Commission, Dumisani Nxumalo, yang membagikan pengalaman Afrika Selatan dalam membangun just transition berdasarkan tiga prinsip: distributive, procedural, dan restorative justice. Ia menekankan perlunya keterlibatan pekerja dan komunitas serta pentingnya social ownership untuk mengatasi ketimpangan ekstrem.

Nxumalo menegaskan bahwa transisi energi hanya dapat disebut adil jika manfaat ekonominya dibagi secara setara. Menurutnya, negara baru benar-benar menjalankan just transition ketika peluang ekonominya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...