Pendanaan Hutan Butuh Rp35 Triliun per Tahun, Skema TFFF Bisa Jadi Solusi
Indonesia masih menghadapi kesenjangan pendanaan yang besar untuk mencapai target Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030.
Peneliti WRI Indonesia, Sita Primadevi, menyatakan bahwa kebutuhan dana sektor kehutanan dan lahan diperkirakan mencapai Rp25–35 triliun per tahun hingga 2030, sementara kapasitas dari APBN yang telah dipetakan baru sekitar Rp2,6 triliun.
“Artinya ada gap sekitar Rp20–30 triliun setiap tahun. Jadi besar sekali kesenjangannya,” ujar Sita dalam sebuah diskusi pasca COP30, Selasa (9/12).
Di tengah tantangan tersebut, dia menilai kehadiran skema Tropical Forest Forever Facility (TFFF) dapat berkontribusi menutup sebagian kekurangan pendanaan. TFFF sendiri merupakan mekanisme blended finance yang memberikan pembayaran berbasis kinerja kepada negara-negara dengan tutupan hutan tropis dan tingkat deforestasi rendah.
Menurut Sita, Indonesia memiliki peluang menjadi penerima manfaat (beneficiary), meski tidak berkontribusi sebagai investor. “Potensinya Indonesia bisa dapat sekitar Rp6,3 triliun per tahun. Lumayan untuk close the gap, walaupun tentu masih butuh pendanaan dari sumber lain,” ujarnya.
Indonesia sendiri telah menyatakan komitmen pendanaan sebesar US$1 miliar pada TFFF, mengikuti langkah Brasil. Dengan demikian, Indonesia berperan ganda, yakni sebagai sponsor sekaligus calon penerima manfaat.
Skema ini sendiri baru mengumpulkan US$6,7 miliar dari target US$25 miliar, dengan kontribusi Brasil, Indonesia, Prancis, Jerman, dan Norwegia. Namun, agar bisa mengakses dana TFFF, Sita menekankan bahwa Indonesia harus memenuhi sejumlah syarat ketat.
Paling utama adalah menjaga laju deforestasi tetap di bawah 0,5%. Selain itu, negara penerima wajib menunjukkan tata kelola keuangan yang baik dalam menyalurkan pembayaran hutan. Indonesia juga harus menjamin minimal 20% dari manfaat finansial disalurkan langsung kepada masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penjaga hutan. Tidak hanya itu, program pemanfaatan dana harus dilaporkan secara transparan setiap tahun.
“Negara penerima harus punya vision yang jelas, apa program yang akan disusun untuk menggunakan pembayaran hutan dari TFFF ini,” tegasnya.
