INDEF: Adopsi Mobil Listrik Terhambat Daya Beli Masyarakat
Analisis Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkap kesenjangan daya beli masyarakat menjadi penghambat utama penetrasi mobil listrik di Indonesia.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan mayoritas masyarakat hanya mampu membeli mobil dengan harga di bawah Rp200 juta. Selain itu, sebanyak 25% pembeli hanya mampu membeli mobil bekas di bawah Rp93 juta. Sementara itu, untuk mobil di kisaran harga Rp450 juta, hanya sekitar 10% masyarakat yang mampu membeli mobil listrik mid-range.
Hal tersebut menunjukkan, permintaan mobil nasional secara struktural bergantung pada low cost green car untuk kategori kendaraan listrik atau mobil bekas.
“Celah antara daya beli masyarakat dan harga mobil listrik harus dijembatani, salah satunya oleh pembiayaan. Kredit kendaraan, khususnya mobil listrik ini salah satu hal yang pada hari ini belum cukup masif,” kata di Jakarta, Kamis (18/12).
Dengan adanya keringanan pembiayaan, muncul opsi bagi masyarakat untuk membeli atau mengganti mobil konvensionalnya dengan mobil listrik. Sementara sejauh ini, kata Andry, mobil konvensional terkonsentrasi di segmen harga rendah sehingga relatif lebih terjangkau oleh daya beli masyarakat.
“Akhir-akhir ini sudah mulai keluar beberapa kendaraan atau mobil listrik yang sudah menyentuh daya beli masyarakat, tapi dari sisi jumlah belum cukup besar dibandingkan kendaraan ICE,” tambahnya.
Menurut Andry, dari sisi permintaan perlu ada peningkatan daya beli dari masyarakat untuk membuatnya bisa menjangkau kendaraan listrik. Di sisi lain, perlu ada penekanan terhadap initial cost kendaraan listrik, yang sejauh ini relatif lebih tinggi dari kendaraan konvensional.
“Insentif yang diberikan pemerintah sudah terbukti bisa menurunkan initial cost,” kata Andry.
Sisi operasional, kata Andry, sudah cukup terjangkau. Namun perlu ada kemudahan akses dan infrastruktur memadai, seperti keberadaan charging station yang bisa membantu masyarakat.
Adanya environmental cost yang ditimbulkan kendaraan konvensional juga diharapkan bisa mendorong peralihan ke kendaraan listrik. Saat ini, regulasi belum menghitung environmental cost, padahal jika diperhitungkan, harga kendaraan listrik akan sepadan dengan kendaraan konvensional.
Insentif Kendaraan Listrik
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kemenko IPK Rachmat Kaimuddin menjelaskan sejumlah insentif yang diberikan pemerintah untuk penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB).
UU Nomor 1 Tahun 2022 menyebut KBLBB sebagai objek yang dikecualikan dari pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor (PKB) serta bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) atas kendaraan bermotor berbasis energi terbarukan.
“Selama undang-undangnya tidak diganti, ini akan berjalan terus,” pungkasnya.
Kemudian, berdasarkan PP Nomor 73 Tahun 2019 jo PP 74 Tahun 2021, electric vehicle atau fuel cell electric vehicle dikenakan PPnBM 0%. Sementara untuk kendaraan dengan teknologi plug-in hybrid electric vehicle dikenakan PPnBM 6-30%, lalu kendaraan low cost green car dikenakan PPnBM 3%. Aturan tersebut berlaku hingga 2031 mendatang.
Selain itu, sejak 2024, pemerintah juga membebaskan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBm) sebesar 15% untuk impor mobil listrik completely built up. Produsen hanya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 12%.
Namun, aturan ini akan berakhir pada 31 Desember 2025, mengacu Peraturan Menteri Keuangan 135 Tahun 2024.
