Transparansi Emisi Jadi Tantangan Implementasi Bursa Karbon
Implementasi bursa karbon pada September mendatang dinilai akan menghadapi sejumlah tantangan, terutama dari sisi regulasi dan pengawasan.
Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting mengatakan saat ini belum ada regulasi yang mewajibkan perusahaan membuka jumlah emisi karbon yang dihasilkan. Selama ini, data jumlah emisi karbon milik perusahaan dan PLTU tidak bisa diakses oleh publik, sehingga sulit untuk memperkirakan berapa jumlah karbon yang harus dibayar oleh perusahaan.
“Perusahaan berpotensi lebih memilih membeli karbon dibandingkan membangun proyek hijau seperti pembangkit listrik tenaga energi terbarukan,” katanya, Jumat (7/21).
Pius menyebut perdagangan karbon harus dilakukan bersamaan dengan aksi iklim lainnya seperti pajak karbon, peningkatan portofolio hijau, dan transisi energi ke energi terbarukan. Ia menyebut alih-alih hanya mendorong aturan perdagangan karbon, pemerintah seharusnya juga fokus mempercepat implementasi pajak karbon (carbon tax) yang diatur dalam UU No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Pius mencontohkan Singapura sudah menerapkan pajak karbon sejak 2019. Harga yang ditetapkan pemerintah Singapura mencapai S$5 per ton CO2e dan direncanakan naik secara berkala menjadi S$25 pada 2024-2025, S$45 pada 2026-2027, hingga S$50-80 di 2030.
Dalam lima tahun penerapan pajak karbon di Singapura, pemerintah berhasil mendapat pemasukan S$1 miliar atau setara Rp14 triliun. Dana ini selanjutnya akan digunakan kembali untuk program dekarbonisasi dan transisi ekonomi hijau.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyepakati perluasan kerja sama di bidang keuangan berkelanjutan terkait perdagangan bursa karbon. Nota Kesepahaman antara OJK dan KLHK menjadi landasan hukum pertukaran dan pemakaian data perdagangan karbon melalui SRN-PPI (Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim).
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyatakan kerja sama ini merupakan landasan dalam konteks menyambungkan SRN-PPI dengan pencatatan perdagangan bursa karbon melalui pengaturan OJK.
Dalam Nota Kesepahaman, OJK dan KLHK menyepakati lima poin kerja sama yaitu:
- Harmonisasi antara kebijakan di Sektor Jasa Keuangan dengan kebijakan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
- Peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Sektor Jasa Keuangan,
- Penyediaan, pertukaran, pemanfaatan data dan/atau informasi untuk mendukung tugas dan fungsi OJK dan KLHK,
- Penelitian dan/atau survei dalam rangka penyusunan kebijakan dan pengembangan di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Sektor Jasa Keuangan di bidang keuangan berkelanjutan terkait penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon,
- Penyediaan Tenaga Ahli/Narasumber di Lingkungan Hidup Dan Kehutanan dan Sektor Jasa Keuangan.