Investasi EBT Seret, Ini Penyebabnya Menurut Ekonom Faisal Basri
Pemerintah tengah menggenjot transisi energi di Indonesia yaitu dengan menggunakan energi baru terbarukan (EBT) guna mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Namun, investasi di sektor EBT masih seret.
Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan masih minimnya investor di sektor EBT karena pemerintah belum memberikan kepastian yang jelas. Dia mencontohkan Singapura yang ingin membangun pabrik panel surya di Indonesia namun menurutnya pemerintah tidak merespons niat tersebut dengan baik.
“Jadi ternyata rupanya ada pejabat yang minta saham, jadi mereka tidak merespons Singapura. Yang begini-begini loh. Jadi memang susah transisi energi itu di iklim negra yang korup dan penuh oligarki,” ujar Faisal dalam diskusi daring Mempersiapkan Transisi Energi Indonesia dan Antisipasi Implikasinya, Rabu (13/9).
Faisal mengatakan, masalah mendasar masih minimnya investor di sektor EBT karena enabling environtment-nya yang masih kurang cocok antara yang ada di benak pemerintah dengan investor. “Jadi transisi energi ini kan ada valuenya dengan nilai dan norma, dan nilai yang baru. Mengubah mental ini yang susah,” kata dia.
Di sisi lain, dia mengatakan pemerintah juga seharusnya mendorong penggunaan transportasi publik jika ingin mengurangi emisi dan menciptakan adanya transisi energi. Namun, kenyataannya pemerintah justru lebih mendorong terhadap penggunaan kendaraan listrik.
“Kendaraan listrik memang hemat iya, tapi listriknya juga kan kotor. Kenapa engga mendorong publik transport?,” ujarnya. “Singapura aja yang sudah kaya raya tidak mendorong pengginaan mobil listrik kok, yang mereka dorong adalah publik transport”.
Menurut laporan Kementerian ESDM, pada 2017 realisasi investasi di sektor EBT Indonesia sempat mencapai US$ 2 miliar. Kemudian di tahun-tahun berikutnya cenderung menurun hingga menjadi US$ 1,6 miliar pada 2022.
Aliran modal untuk pengembangan EBT itu jauh lebih kecil ketimbang yang diterima sektor mineral dan batu bara (minerba), ataupun minyak dan gas bumi (migas). Selama periode 2017-2022 realisasi investasi di sektor minerba sekitar 3-5 kali lipat lebih tinggi dibanding EBT. Investasi di sektor migas bahkan 6-9 kali lipat lebih tinggi.
Menurut International Renewable Energy Agency (IRENA), untuk mendorong percepatan transisi energi Indonesia butuh investasi US$ 314,5 miliar selama periode 2018-2030, atau rata-rata sekitar US$ 17,4 miliar per tahun.
Aturan TKDN yang Memberatkan Investor
Sebelumnya, Lembaga survei The Centre For Strategic and International Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics menilai aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menghambat investor untuk berinvestasi di sektor energi baru terbarukan (EBT).
Hal ini lantaran masih tingginya tarif atau harga energi terbarukan dibandingkan energi fosil, sehingga persyaratan TKDN berpotensi menghambat penambahan kapasitas energi bersih tersebut di Indonesia.
“Selama ini yang banyak dikeluhkan oleh para investor energi terbarukan adalah tarif atau harga energi terbarukan yang tidak kompetitif bagi perkembangan industri EBT, serta persyaratan TKDN yang terlalu memberatkan para investor,” ujar Peneliti Ekonomi CSIS Indonesia, Novia Xu, dalam media briefing, di Jakarta, Selasa (22/8).
Untuk itu, Novia meminta kepada pemerintah untuk lebih realistis terkait persyaratan atau aturan TKDN. Artinya, pemerintah juga harus mengembangkan rantai pasok jika ingin mempunyai tingkat TKDN yang tinggi.
Disisi lain, Novia mengatakan pemerintah saat ini tengah mengembangkan proyek-proyek transisi energi dalam skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP).
Menurut dia proyek-proyek tersebut dapat ditawarkan untuk mendapatkan pembiayaan komersial dari bank-bank yang terlibat dalam JETP Indonesia, yaitu Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.