Kemenperin: Dekarbonisasi Industri Semen Bisa Dongkrak Daya Saing
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan dekarbonisasi industri semen Indonesia dapat meningkatkan daya saing di tingkat global. Sejumlah negara saat ini akan memperketat aturan karbon untuk produk impor, termasuk Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon atau CBAM yang akan diterapkan Uni Eropa pada 2026.
Direktur Industri Semen, Keramik dan Pengolahan Bahan Galian Non-Logam Kemenperin, Putu Nadi Astuti, mengatakan pihaknya mendukung industri untuk menghasilkan produk semen ramah lingkungan atau biasa disebut green cement. Upaya tersebut merupakan langkah penanganan dampak perubahan iklim.
"Kami mendukung upaya tersebut dengan mengembangkan regulasi untuk percepatan pencapaian Net Zero Emission (NZE) dari sektor industri," kata Putu Nadi Astuti di Jakarta, Senin (4/6).
Dia mengatakan, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi positif di tengah kondisi usaha yang penuh tantangan. Hal itu ditopang industri non-migas dan manufaktur.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Lilik Unggul Raharjo mengatakan bahwa Indonesia telah mengambil langkah penting dalam dekarbonisasi industri semen. Asosiasi Semen Indonesia menjadi pelopor dalam mengadvokasi praktik berkelanjutan industri semen di Indonesia.
"Kami mendorong inovasi dalam produksi, penerapan prinsip ekonomi sirkular dan beralih ke proses produksi yang lebih bersih,” ujar Lilik Unggul Raharjo.
Dia mengatakan, industri semen di Indonesia sudah menerapkan inisiatif dekarbonisasi dalam proses produksinya sejalan dengan target pengurangan emisi nasional dan global, Inisiatif tersebut, antara lain melalui penggunaan bahan bakar alternatif seperti biomassa, limbah industri, sampah perkotaan yang diolah menjadi refuse-derived fuel (RDF) dan lain-lain untuk substitusi batu bara.
Penggunaan energi baru terbarukan juga didorong untuk meningkatkan efisiensi energi, serta penerapan standar batas penggunaan energi per ton produk semen untuk mendorong industri yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Sebelumnya, Lilik mengatakan bahwa industri semen Indonesia khawatir Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon atau CBAM besutan Uni Eropa akan mempengaruhi performa ekspor semen nasional. Aturan yang diterapkan di Eropa biasanya akan ditiru oleh negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Australia.
Ia mencatat, beberapa negara tujuan ekspor semen nasional adalah Banglades, Cina, dan Australia. Adapun industri semen Indonesia belum mengekspor semen ke Benua Biru dan baru berencana mulai mengirimkan semen ke Amerika Serikat pada awal tahun depan.
"Australia akan menerapkan carbon linkage. Skema ini masih belum ditetapkan apakah akan menggunakan skema seperti CBAM atau cukup dengan patokan emisi karbon," kata Lilik.
Berdasarkan paparan ASI, volume ekspor semen pada tahun lalu naik 20,22% secara tahunan menjadi 10,7 juta ton. Volume ekspor pada tahun ini diprediksi akan tetap di atas 10 juta ton atau 10,5 juta ton.
Beberapa komoditas yang akan terdampak CBAM adalah barang dengan emisi karbon tinggi, seperti baja, semen, aluminium, pupuk, dan listrik. Produk tersebut akan dikenakan bea masuk yang lebih tinggi karena dinilai tidak ramah lingkungan.
Lilik mengatakan, transisi implementasi CBAM akan dimulai pada 2026. Menurutnya, aturan CBAM pada akhirnya akan memberatkan pabrikan lokal untuk mencapai standar emisi karbon Eropa.