Pendanaan Proyek EBT RI Didominasi Skala Kecil, Kalah Jauh dengan Batu Bara
Pendanaan proyek energi baru terbarukan atau EBT di Indonesia masih didominasi oleh skala kecil. Investor proyek EBT dari luar negeri cukup besar, namun belum tersambung dengan pelaku industri di Indonesia.
Director of Risk Management PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), Pradana Murti, mengatakan SMI telah ditugaskan sebagai Energy Transition Mechanism atau ETM Country Platform Managers yang berfungsi sebagai penggerak transisi energi di dalam negeri.
Sebagai informasi, ETM country platform merupakan kerangka kerja yang menyediakan pembiayaan yang diperlukan untuk mempercepat transisi energi nasional, dengan memobilisasi sumber pendanaan komersial dan non-komersial secara berkelanjutan. Adapun sebagai ETM country platform, SMI berfungsi mengkoordinasikan pembiayaan untuk proyek-proyek transisi energi.
Pradana mengatakan, SMI sudah membiayai 2,2 Gigawatt proyek energi baru terbarukan. Pembangunan listrik EBT kapasitas 2,2 GW tersebut berasal dari lebih dari 50 proyek.
"Jadi bisa dibayangkan, skalanya antara kecil hingga menengah," ujarnya saat menjadi pembicara dalam Katadata SAFE 2024 di Jakarta, Rabu (7/8).
Hal itu berbeda dengan proyek energi kotor seperti batu bara yang kapasitasnya jumbo. Untuk proyek 2,2 GW, Pradana mengatakan, hal itu bisa digarap hanya dengan dua proyek batu bara.
"Jadi memang itu tantangannya, mengenai mobilisasi pendanaan harus didorong ke proyek transisi energi," ujarnya.
Pradana mengatakan, sebenarnya sudah banyak investor yang tertarik untuk melakukan pembiayaan transisi energi di Indonesia. Namun, perlu upaya untuk menghubungkan antara investor dengan pelaku industri di dalam negeri.
"Tinggal bagaimana mematchingkan proyek dengan donor tersebut. Bagaimana yang dibiayai bisa memenuhi pendanaan, dan pendonor bisa memahami proyeknya," ujarnya.
Pembiayaan Transisi
Sementara itu, Partner and Head of Asia Pacific, Masyita Crystallin, mengatakan negara-negara ASEAN membutuhkan pembiayaan transisi. Pembiayaan transisi adalah pendekatan pembiayaan baru yang bertujuan untuk mendukung perusahaan yang berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca secara terus-menerus sesuai dengan strategi jangka panjang untuk mencapai masyarakat dekarbonisasi.
"Jadi ada aktivitas yang harus dilakukan suatu ngara atau masyarakat ekonomi, yang belum masuk kategori green, misalnya saja Pensiun dini PLTU," ujarnya.
Dia mengatakan, ekosistem pembiayaan transisi tersebut perlu dibangun, terutama di negara berkembang. Pasalnya, banyak pembangkit batu bara di negara-negara berkembang yang lebih muda 15 hingga 20 tahun dibandingkan negara-negara maju.
Oleh sebab itu, menurut dia, aktivitas pembiayaan transisi perlu dipertegas dalam level global. Pembiayaan transisi juga harus masuk dalam taksonomi berkelanjutan di berbagai negara.