COP29 Sepakati Pembiayaan Iklim Rp 4,7 Kuadriliun, Ini yang Perlu DIlakukan RI

Image title
25 November 2024, 17:50
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Ristianto Pribadi (kiri) bersama Kepala Pusat Standarisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim (PUSTANDPI) Kementerian Kehutanan Krisdianto (tengah) menjelaskan inisiatif
ANTARA FOTO/Andika Wahyu/Spt.
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Ristianto Pribadi (kiri) bersama Kepala Pusat Standarisasi Instrumen Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim (PUSTANDPI) Kementerian Kehutanan Krisdianto (tengah) menjelaskan inisiatif aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan Indonesia kepada pengunjung mancanegara (kanan) melalui LED Globe di Paviliun Indonesia COP29 UNFCCC, Baku, Azerbaijan, Selasa (19/11/2024).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP29 telah menyepakati pembiayaan iklim (New Collective Quantified Goal/NCQG) senilai US$ 300 miliar atau Rp 4,7 kuadriliun per tahun bagi negara berkembang. Jumlah tersebut jauh lebih sedikit dari pembiayaan yang dibutuhkan negara berkembang dalam Nationally Determined Contributions (NDCs) mereka yang mencapai US$ 5 - 6,8 triliun hingga 2030.

Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan mekanisme NCQG sebaiknya diadopsi Indonesia untuk membuka ruang pendanaan transisi energi yang lebih progresif dibandingkan dengan yang disepakati dalam Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP). Pasalnya, pembiayaan melalui JETP lebih banyak berupa utang, yang dikhawatirkan justru menjadi beban fiskal Indonesia.

“Pemanfaatan dana publik dari negara maju berbentuk hibah yang lebih besar, dan opsi penghapusan utang, penting untuk memberikan ruang fiskal bagi percepatan transisi energi,” kata Bhima melalui keterangan tertulis, Senin (25/11).

Bhima mencontohkan, NCQG dapat digunakan untuk proyek pensiun PLTU yang terhambat APBN, dan kebutuhan keuangan PLN bisa didanai melalui mekanisme debt swap atau debt cancellation. Selain itu, pembiayaan NCQG berupa hibah juga dapat digunakan untuk mengembangkan proyek-proyek pembangkit listrik berbasis surya, mikro hidro, dan angin, transmisi, serta baterai penyimpanan.

Dia menambahkan, perlu dipastikan pembiayaan iklim baru yang disepakati bukan sekadar program lama yang diklaim negara maju sebagai program baru dalam NCQG. Misalnya, bila asistensi teknis dari negara donor sebelum adanya NCQG diklaim ulang sebagai realisasi pendanaan baru, maka klaim itu tidak dibenarkan.

 “Kehadiran NCQG seharusnya memberi ruang yang lebih ambisius agar setiap pendanaan berbasis pada transparansi dan realisasinya, bukan sekadar komitmen semata,” ujar Bhima.

Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono, mengatakan masyarakat harus memantau porsi hibah dan utang yang ada di dalam NCQG jika nantinya memperoleh pembiayaan ini. Pasalnya, pembiayaan NCQG tidak memandatkan pembiayaan harus 100% berasal dari hibah. “

Adanya celah untuk utang masuk ke dalam NCQG harus dipantau dengan seksama," ujarnya.

Menurut Agung, idealnya alokasi dana hibah mendominasi NCQG. Pembiayaan ini seharusnya menjadi bukti nyata dari negara maju untuk membantu negara-negara yang terdampak krisis iklim. Namun, jika lebih banyak berbentuk utang, malah akan mempersulit negara-negara berkembang.

Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...