Cegah Greenwashing, OJK Fokus Awasi Transparansi Laporan Keuangan Perusahaan

Tia Dwitiani Komalasari
Oleh Tia Dwitiani Komalasari - Djati Waluyo
5 Desember 2024, 16:30
Aktivis melakukan aksi damai menolak bisnis energi kotor batubara di Patra Kuningan, Jakarta, Senin (26/4/2021).
ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.
Aktivis melakukan aksi damai menolak bisnis energi kotor batubara di Patra Kuningan, Jakarta, Senin (26/4/2021).
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti praktik greenwashing yang dilakukan sejumlah perusahaan. Standar laporan keuangan yang lebih transparan diperlukan untuk mencegah praktik greenwashing, sehingga diharapkan alokasi modal, investasi dan pembiayaan benar-benar diarahkan pada keberlanjutan lingkungan.

Greenwashing adalah sebuah strategi untuk membuat orang percaya bahwa suatu perusahaan menjalankan praktik melindungi lingkungan atau ramah lingkungan yang sebenarnya tidak dilakukannya.

 “Pertumbuhan pesat produk keuangan berkelanjutan menyadarkan kita atas kebutuhan mendesak akan perlunya standar pelaporan keuangan yang lebih transparan untuk mencegah klaim ramah lingkungan yang menyesatkan, yang dikenal sebagai praktik 'greenwashing',” kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara di Jakarta, Kamis (5/12).

Menurut dia, dibutuhkan transparansi dari industri jasa keuangan yang perlu diimbangi dengan pemahaman publik atas praktik greenwashing. OJK menyakini transparansi yang lebih baik akan menjadi fondasi dalam menjaga kredibilitas dan keberlanjutan produk keuangan hijau di pasar global.

Otoritas Jasa Keuangan berkomitmen penuh untuk mendorong kemajuan keuangan berkelanjutan. OJK telah memiliki serangkaian kebijakan dan panduan dalam meningkatkan peran sektor jasa keuangan dalam mendorong keuangan berkelanjutan di Indonesia.

Pada 2017, OJK menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51 Tahun 2017 tentang penerapan keuangan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik. POJK tersebut antara lain mengatur tentang kewajiban penerapan prinsip keuangan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik, dan kewajiban penyampaian rencana aksi keuangan berkelanjutan.

POJK itu juga mengatur tentang kewajiban menyampaikan laporan berkelanjutan (sustainability report) bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik. POJK tersebut juga mewajibkan kepada industri jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik untuk melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

 Pada 2024, OJK menerbitkan Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia yang merupakan transformasi dari Taksonomi Hijau Indonesia. Taksonomi digunakan sebagai panduan untuk meningkatkan alokasi modal dan pembiayaan berkelanjutan dalam mendukung target Net Zero Emission. OJK juga telah menerbitkan panduan Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS) ​sebagai bentuk dukungan kebijakan dari OJK untuk pengelolaan risiko perubahan iklim.

Mirza mengatakan penanganan praktik greenwashing di sektor jasa keuangan di Indonesia memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif daripada sekadar regulasi.

Penetapan Harga Karbon

Perusahaan konsultan manajemen global, Kearney, merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk membentuk kerangka regulasi mengenai teknologi bersih dan penetapan harga karbon untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Direktur Utama Kearney Indonesia, Shirley Santoso, mengatakan kebijakan ekosistem hijau merupakan salah satu faktor yang harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia untuk mencapai NZE.

"Selain itu dengan membentuk kebijakan teknologi bersih harus mencakup seluruh rantai nilai. Penetapan harga karbon melalui pajak dan kredit akan memberikan insentif ekonomi untuk mengurangi emisi," ujar Shirley dalam diskusi, di Jakarta, Kamis (5/12).

Shirley mengatakan pemerintah dapat menerapkan kebijakan energi bersih kepada seluruh rantai nilai dari perusahaan. Namun, persyaratan kandungan lokal berdampak negatif pada perkembangan proyek berbasis teknologi  hijau dan menghambat kompetisi global. Untuk itu, pemerintah Indonesia diminta untuk secara selektif melonggarkan persyaratan kandungan lokal guna menarik minat investor global.

"Pemerintah juga dapat meningkatkan subsidi dan insentif pajak untuk investasi teknologi bersih, serta mendorong kemitraan publik-swasta untuk mendorong transfer teknologi dan pembangunan kapasitas di bisnis teknologi bersih lokal," ujarnya.

Shirley mengatakan, penetapan kebijakan harga karbon juga sangat penting untuk Indonesia. Pasalnya, pajak karbon yang efektif dan kredit karbon berfungsi sebagai sinyal ekonomi dalam memberikan insentif untuk mengurangi emisi.

Sebagaimana diketahui, Indonesia telah mengumumkan rencananya untuk mengenakan pajak karbon, dengan tarif efektif sekitar US$ 2 per ton emisi CO2 yang dimulai dari sektor pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun, tarif yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia masih sangat jauh jika dibandingkan dengan tarif yang ditetapkan negara berkembang lainya yang berada di kisaran US$ 30 hingga US$ 100 per ton CO2.

"Indonesia memiliki kesempatan untuk mengadopsi tarif pajak yang lebih tinggi dan melibatkan lebih banyak pelaku industri," ucapnya.

Reporter: Djati Waluyo, Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...