WTO Batasi Subsidi untuk Eksploitasi Penangkapan Ikan Berlebihan

Image title
16 September 2025, 08:48
Pedagang mengangkut ikan usai dibeli di Pelabuhan Perikanan Pantai Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, Kamis (28/8/2025). Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pembangunan 1.100 Kampung Nelayan Merah Putih secara bertahap hingga 2027
ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/bar
Pedagang mengangkut ikan usai dibeli di Pelabuhan Perikanan Pantai Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara, Kamis (28/8/2025). Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pembangunan 1.100 Kampung Nelayan Merah Putih secara bertahap hingga 2027, dimana untuk tahap awal pada tahun 2025 akan dibangun 100 kampung sebagai upaya memperkuat ekonomi pesisir dan sektor kelautan nasional.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merilis aturan resmi untuk membatasi miliaran dolar subsidi yang berkontribusi terhadap praktik penangkapan ikan berlebihan.

Laporan Reuters menyebutkan ini menjadi perjanjian pertama yang efektif di WTO sejak 2017.  Beberapa tahun ini, terjadi perselisihan internal di WTO yang diperparah oleh kebijakan tarif Amerika Serikat. Juru bicara WTO mengatakan ratifikasi formal oleh Brasil, Kenya, Tonga, dan Vietnam pada Senin (15/9) memastikan bahwa kesepakatan yang pertama kali dicapai pada 2022 itu telah memperoleh dukungan dari dua pertiga anggota.

Dengan berlakunya kesepakatan ini, pemerintah kini dilarang memberikan subsidi bagi stok ikan yang sudah ditangkap secara berlebihan maupun untuk kegiatan penangkapan di perairan internasional di luar yurisdiksi mereka. Negara-negara miskin akan dapat mengakses dana khusus untuk membantu transisi ke aturan baru tersebut.

“Stok ikan di seluruh dunia kini memiliki kesempatan untuk pulih, memberikan manfaat bagi nelayan lokal yang bergantung pada laut yang sehat,” kata Megan Jungwiwattanaporn dari Pew Charitable Trusts.

Studi Marine Policy tahun 2019 menunjukkan pemerintah di seluruh dunia mengucurkan sekitar US$ 35,4 miliar setiap tahun kepada armada penangkapan ikan, termasuk subsidi bahan bakar yang memungkinkan mereka menangkap ikan di lautan jauh.  Studi itu mencatat lima pemberi subsidi terbesar adalah Tiongkok, Uni Eropa, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang. 

Namun, perundingan mengenai aturan tambahan perikanan yang mencakup isu-isu kontroversial yang dikecualikan dari kesepakatan pertama masih menemui jalan buntu. Ini karena India dan sejumlah negara berkembang menginginkan pengecualian yang dinilai banyak pihak lain tidak realistis. Bagian pertama dari kesepakatan yang mulai berlaku Senin ini membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun negosiasi, dan akan berakhir dalam empat tahun jika aturan yang lebih komprehensif tidak tercapai.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Nuzulia Nur Rahmah

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...