Hapus Buku Kredit, Siasat Bank Memoles Kinerja Keuangan Akibat Pandemi
Perbankan Indonesia sedang bertahan di tengah krisis akibat pandemi Covid-19. Sejumlah bank dilaporkan melakukan hapus buku untuk mengurangi kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) maupun kredit macet.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk misalnya, telah melakukan write off senilai Rp 5 triliun hingga Mei 2020. Direktur Keuangan BRI Haru Koemahargyo mengatakan hapus buku menjadi langkah terakhir untuk kredit macet yang tidak berhasil disehatkan dan diselamatkan.
BRI menargetkan tingkat pengembalian atas kredit yang dihapus buku atau recovery rate sebesar 50% pada 2020. “Ini menjadi strategi kami untuk meningkatkan pendapatan bank di luar pendapatan bunga,” katanya, seperti dikutip dari Bisnis.com, Minggu (26/7).
PT Bank Central Asia Tbk juga melakukan langkah serupa. Namun, langkah hapus buku ini tak jauh berbeda dengan tahun lalu. Pada semester pertama 2019, perusahaan melakukan write off aset kredit sebesar Rp 845 milliar dan angkanya bertahan hingga akhir tahun.
Tempo.co melaporkan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk mencatat kenaikan nilai hapus buku kredit bermasalah. Dari laporan keuangan per 31 Maret 2020, aset yang dihapus buku senilai Rp 4,38 triliun. Pada periode sama tahun lalu, angka itu di Rp 3,19 triliun.
Direktur Finance, Planning, and Treasury BTN Nixon LP Napitupulu memperkirakan langkah write off akan naik tahun ini. “Angka (hapus buku) dari Januari sampai Januari memang naik, lebih tinggi dari enam bulan pertama tahun lalu,” ucapnya.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso sebelumnya mengatakan sampai dengan Mei 2020 rasio NPL perbankan sudah mencapai 3,01%. Angka ini naik dari periode sama tahun sebelumnya di 2,8% sampai 2,9%.
Kenaikan NPL terjadi karena banyak perbankan masih belum memaksimalkan relaksasi kredit yang tercantum dalam Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020. Antusiasme debitur melakukan restrukturisasi kredit sempat mencapai puncak pada April sampai Juni 2020. Namun, angkanya kemudian turun pada bulan ini.
Ia berharap fasilitas relaksasi ini bisa dimanfaatkan oleh para debitur dan perbankan, agar pemulihan ekonomi bisa cepat terjadi. OJK bahkan sedang mengkaji aturan itu diperpanjang hingga lebih dari setahun. “Tetap ada ruang untuk diperpanjang,” ucap Wimboh.
Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan NPL perbankan selama lima tahun terakhir. Secara umum, NPL perbankan per Januari 2020 sebesar 2,77%. Namun, angkanya lebih rendah dibandingkan 2016 di 2,93%. Batas tertinggi rasio kredit bermasalah yang ditetapkan OJK adalah sebesar 5%.
Hapus Buku dan Dampaknya ke Perbankan
Kebijakan hapus buku dapat diartikan sebagai penghapusan pinjaman macet yang tidak dapat ditagih lagi, dari neraca (no balance sheet) ke rekening administratif (off balance sheet). Penghapusannya dibebankan pada pos penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP). Artinya, hapus buku hanya berlaku secara administratif, tapi penagihan kredit terhadap debitur tetap dilakukan.
Penghapusan yang sifatnya administratif ini ditempuh sejumlah bank untuk memoles kualitas neraca perkreditannya. Dengan menghapus buku, bank dapat mengeluarkan pencatatan angka piutang kredit yang tidak menghasilkan.
Infobank menuliskan, jika bank tak mampu membuat cadangan tapi kredit macet terus mendera, maka bank itu dalam kondisi terpanggang. Keuntungannya akan terus tergerus. Hapus buku kemudian menjadi solusi terakhir untuk mencegah kenaikan NPL dan turunnya laba.
Penghapusan buku aset kredit perbankan memiliki implikasi pada upaya bank menurunkan tingkat NPL. Hal ini diharapkan mampu membuat kesehatan bank ikut naik dan meningkatkan kepercayaan publik. Dampak lanjutannya, bank dapat mengembangkan produk dan ekspansi bisnis tanpa terganjal masalah kredit macet.
Penyumbang bahan: Muhamad Arfan Septiawan (magang)