Mengenal Laili Roesad, Duta Besar Perempuan Pertama Republik Indonesia
Awal pekan lalu, pada Selasa (23/1), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melakukan walk out ketika Duta Besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Gilard Erdan menyampaikan pidato di Dewan Keamanan PBB. Sikap yang ditunjukkan oleh Menlu ini menuai banyak pujian, karena menunjukkan ketegasan Indonesia atas konflik antara Palestina dan Israel.
Retno sendiri merupakan diplomat ulung, dan berhasil mewakili Indonesia di kancah diplomasi internasional. Beberapa prestasinya, antara lain mengantarkan Indonesia menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020, dan Anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022.
Jauh sebelum Retno, perjalanan perempuan Indonesia di kancah diplomasi internasional dirintis oleh sosok yang berasal dari Sumatra Barat. Sosok tersebut, bernama Laili Roesad, yang merupakan duta besar atau dubes perempuan pertama Indonesia.
Masa Kecil dan Pendidikan Laili Roesad
Laili Roesad lahir di Padang, Sumatra Barat, pada 19 September 1916. Ayahnya, Roesad Datuk Perpatih Baringek, merupakan Sekretaris Minangkabau Raad pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dan kemudian menjadi Residen Sumatra Barat. Sang ibu, Hasnah Manan, tercatat sebagai siswa perempuan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pertama di Padang.
Mengutip Historia, Laili diketahui menempuh pendidikan di Madrasah Adabiah, yang merupakan madrasah pertama di Indonesia, yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Padang. Setelah itu, ia menempuh pendidikan ke Rechtshoogeschool di Batavia dan mendapatkan gelar Meester in de Rechten. Ia menjadi perempuan pertama yang mendapat gelar tersebut.
Sebagai informasi, Meester in de Rechten adalah gelar yang diperoleh seseorang setelah menyelesaikan studi ilmu hukum pada sebuah universitas yang mengikuti sistem yang berlaku di Belanda dan Belgia. Dalam bahasa Belanda, gelar ini berarti "Magister dalam Ilmu Hukum".
Lulus dari Rechtshoogeschool, Laili kemudian sebagai pegawai Dewan Kehakiman di Padang. Sayangnya, saat itu kesempatan menjadi hakim belum terbuka bagi perempuan. Namun, kegagalan menjadi hakim karena masalah gender tersebut, justru menuntunnya ke bidang lain dan membuatnya bersinar, yakni menjadi diplomat.
Karir Laili Roesad sebagai Diplomat
Laili meniti karir sebagai diplomat di Departemen Luar Negeri Republik Indonesia pada 1949. Saat itu, menjadi anggota delegasi tetap Indonesia di PBB yang dipimpin oleh Soedjarwo Tjondronegoro.
Delegasi awal Indonesia di PBB ini mengemban tugas berat, yakni memperjuangkan kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka. Kemudian, memperjuangkan hak-hak Indonesia di kancah hukum internasional, seperti mengenai status wilayah Irian Barat, yang kala itu masih sengketa dengan Kerajaan Belanda.
Untuk menambah pengetahuannya di bidang hukum internasional, Laili meneruskan pendidikan Hukum Internasional di London, Inggris. Ia menempuh pendidikan ini selama dua tahun, yakni 1950-1952.
Ia sempat masuk sebagai calon anggota Konstituante dari Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk daerah pemilihan Sumatra Tengah, namun tidak terpilih. Meski demikian, perjalanan Laili sebagai diplomat justru semakin bersinar pasca gagal terpilih sebagai anggota Konstituante.
Pada 1954, Laili ditunjuk sebagai Counsellor pada Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk PBB di New York, Amerika Serikat (AS). Ia diangkat melalui Keputusan Presiden Nomor 184 tahun 1954. Ia menjabat sebagai Counsellor selama dua tahun.
Pada 1956, ia menjabat sebagai wakil ketua Direktorat PBB pada Departemen Luar Negeri. Tiga tahun kemudian, pada 1959 Laili ditunjuk menggantikan Wiwoho sebagai Duta Besar RI untuk Belgia dan Luksemburg.
Dalam amanatnya, Presiden Soekarno mengatakan Laili Roesad adalah perempuan Indonesia pertama yang diangkat sebagai duta besar. Saat pelantikan, Proklamator RI tersebut mengatakan, bahwa Laili tidak hanya bertanggung jawab kepada pemerintah, bangsa Indonesia, namun juga terhadap kaum perempuan Indonesia.
"Seluruh pandangan bangsa Indonesia dan wanita Indonesia ditujukan kepada saudara, dan oleh karena itu jalankanlah sebaik-baiknya," kata Soekarno kepada Laili Roesad, dilansir dari Harian Umum.
Ini menjadi posisi terlama yang ia emban, yakni selama delapan tahun, hingga 1964. Atas dedikasinya, pemerintah Belgia dan Luksemburg menganugerahi Laili bintang tanda jasa.
Kembali dari penugasan sebagai Duta Besar RI untuk Belgia dan Luksemburg, ia kemudian menjabat sebagai Kepala Direktorat Hukum Internasional di Departemen Luar Negeri RI. Ia mengemban jabatan ini selama kurang lebih tiga tahun, hingga 1967.
Pada 1967, Laili ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Austria, yang berkedudukan di Wina. Sebagai duta besar, ia mewakili Indonesia menandatangani Konferensi Atomik sedunia pada tahun yang sama. Ia bertugas di Wina hingga 1970, kemudian memasuki usia pensiun. Penerima Bintang Jasa Utama kepada Laili tahun 1995 ini wafat pada 2003 silam.
Setelah Laili, banyak perempuan Indonesia kemudian meniti karir sebagai diplomat. Beberapa di antaranya menorehkan nama harum di kancah internasional, seperti Supeni Pudjobuntoro yang menjadi Duta Besar Ri untuk AS, serta Titi Memet Tanuwidjaja, yang menjadi duta besar dan kemudian menduduki jabatan sebagai Direktur kawasan untuk Asia Timur dan Pakistan UNICEF.
Selain dua nama tersebut, Indonesia juga memiliki banyak srikandi yang mewakili RI di kancah diplomasi internasional. Misalnya, Esti Andayani yang pernah menjadi Duta Besar RI untuk Italia, Ciprus, Malta dan San Marino, serta Niniek Kun Naryatie yang pernah menjadi Duta Besar RI untuk Argentina, Paraguay dan Uruguay
Kemudian, nama terbaru adalah Retno Marsudi yang meniti karir sebagai diplomat di Kementerian Luar Negeri. Mantan Duta Besar RI untuk Islandia dan Norwegia, serta Belanda ini, kemudian menjadi Menteri Luar Negeri perempuan pertama Republik Indonesia.