Kengerian Perbudakan Belanda di Balik Permintaan Maaf PM Rutte

Sorta Tobing
20 Desember 2022, 14:22
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dari partai VVD Liberal mengendarai sepeda selama pemilihan umum Belanda, di Den Haag, Belanda, Rabu (17/3/2021).
ANTARA FOTO/REUTERS/Piroschka Van De Wouw/RWA/sa.
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dari partai VVD Liberal mengendarai sepeda selama pemilihan umum Belanda, di Den Haag, Belanda, Rabu (17/3/2021).

Pemerintah Belanda secara resmi meminta maaf atas perbudakan yang dilakukan selama abad ke-17 hingga ke-19. “Hari ini, atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara ini di masa lalu,” kata Perdana Menteri Mark Rutte dalam konferensi persnya di Den Haag, Senin (19/12).

Ia menyebut perbudakan harus diakui dalam istilah yang paling jelas sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Pidato ini ia lakukan bersamaan dengan kunjungan beberapa menterinya ke Karibia dan Suriname. 

Kenapa PM Rutte Minta Maaf Soal Perbudakan?

Permintaan maaf PM Rutte muncul seminggu setelah sebuah laporan menemukan orang-orang di Kementerian Luar Negeri Belanda telah terpapar komentar rasis. Dalam komunikasi internalnya, kementerian tersebut menyebut negara-negara di Afrika dengan istilah “negara monyet”. 

Menteri Luar Negeri Wopke Hoekstra langsung meminta maaf dan mengakui laporan itu sangat merusak reputasi negaranya. Namun, publik tetap marah dengan temuan tersebut. 

Apalagi, kehidupan para imigran di negara itu ternyata sangat buruk dibandingkan penduduk asli. Hasil survei Badan Statistik Belanda menunjukkan, para pendatang memiliki rumah lebih kecil, prestasi pendidikan dan pendapatan lebih rendah, serta tingkat kesehatan yang buruk.

Para migran tetap diperlakukan sebagai warga negara kelas dunia. “Ini posisi yang tidak setara. Rasisme menjadi pembenaran perbudakan, seperti terlihat hari ini,” kata Profesor Brandon.

Sekitar 70% masyarakat Afrika-Karibia di Belanda, yang sebagian besar keturunan budak, percaya permintaan maaf pemerintah menjadi penting. Namun, separuh orang Belanda tidak mendukung aksi PM Rutte. 

Orang-orang yang menolak konsep permintaan maaf kolektif beralasan nenek moyang merekalah yang melakukan kesalahan dan mengambil keuntungan dari kolonialisme. Mereka tidak mau menanggung kesalahan masa lalu. 

Perbudakan dan Zaman Keemasan Belanda

Melansir BBC, lebih dari 600 ribu orang dari Afrika dan Asia mengalami perbudakan oleh pedagang Belanda selama 250 tahun. Pria, wanita, dan anak-anak diperbudak untuk bekerja di perkebunan gula, kopi, tembakau, dan tambang. Mereka mengalami kekerasan fisik, mental, dan seksual yang ekstrem.

Selama abad ke-17, Negeri Kincir Angin menjadi negara paling makmur di dunia karena aktivitas ekonominya tersebut. Era ini sering disebut Zaman Keemasan Belanda yang mengalami kemajuan besar di bidang ilmu pengetahun dan budaya. 

Dewan Riset Belanda menemukan, 40% pertumbuhan ekonomi antara 1738 hingga 1780 terkait dengan perbudakan. “Belanda menjadi salah satu negara Eropa dengan hubungan paling langsung dan luas dengan perbudakan,” kata Profesor Sejarah Ekonomi dan Sosial Global di University of Amsterdam, Pepijn Brandon. 

Pada abad ke-17 dan ke-18, CNN menulis, salah satu peran Dutch West India Company adalah mengangkut budak dari Afrika ke Amerika. Para budak dari Afrika banyak yang diangkut ke Brasil dan Karibia. 

Di belahan bumi lainnya, Belanda juga memperbudak sejumlah besar orang Asia di Hindia Belanda alias Indonesia pada masa kini. Larangan perbudakan baru muncul pada 1863. Namun, aktivitas perdagangan manusia tetap terjadi secara ilegal hingga awal abad ke-20. 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...