Dotcom Bubble, Krisis Keuangan yang Menghantam Perusahaan Digital

Image title
11 Desember 2023, 02:09
Dotcom Bubble
Tavaga
Ilustrasi, Dotcom Bubble

Sepanjang 2023, badai pemutusan hubungan kerja dan penutupan yang menghantam perusahaan rintisan atau startup terus terjadi. Kondisinya mirip dengan ledakan Dotcom Bubble, yakni krisis yang menghantam perusahaan-perusahaan berbasis internet, atau yang berkecimpung di dunia digital.

Mengutip New York Times, fenomena keruntuhan bisnis startup melanda perusahaan-perusahaan yang sebelumnya berhasil menggalang pendanaan hingga ratusan juta dolar AS. Contohnya, WeWork yang sebelumnya berhasil mengumpulkan dana lebih dari US$ 11 miliar, Olive AI (US$ 852 juta), Convoy (US$ 900 juta), dan Veev (US$ 647 juta). Semuanya mengajukan kepailitan atau tutup alias shutdown.

Banyaknya startup yang kolaps, meski telah mendapatkan pendanaan yang fantastis, dipandang mirip dengan yang terjadi saat ledakan Dotcom Bubble pada akhir dekade 1990-an dan awal 2000-an. Pada periode tersebut, beberapa perusahaan digital skala besar harus kolaps.

Berikut ini ulasan mengenai penyebab krisis yang menghantam perusahaan-perusahaan di bidang digital tersebut, disertai beberapa contoh perusahaan dengan valuasi atau kapitalisasi pasar besar yang kolaps.

Ilustrasi, Dotcom Bubble.
Ilustrasi, Dotcom Bubble. (Bloomberg)

Penyebab Terjadinya Ledakan Dotcom Bubble

Dekade 1990-an merupakan era dimana teknologi informasi mengalami kemajuan pesat, khususnya dengan munculnya internet, yang dapat diakses secara luas. Ini dikenal sebagai era "Internet Boom", yang ditandai dengan banyaknya inovasi teknologi, yang membuka jalan bagi model dan peluang bisnis baru.

Meningkatnya aksesibilitas internet menyebabkan lonjakan aktivitas daring atau online, mulai dari e-commerce, pembuatan konten online, hingga komunikasi dan berbagi informasi. Hal ini menciptakan pandangan optimis terhadap potensi perusahaan berbasis internet, untuk mentransformasi industri tradisional.

Sebelum terjadinya Dotcom Bubble, banyak perusahaan modal ventura berlomba-lomba berinvestasi di perusahaan teknologi baru, terutama yang bergerak di bidang internet. Banyak startup, seringkali dengan sedikit atau tanpa keuntungan namun memiliki ide bisnis yang menjanjikan, menarik pendanaan dalam jumlah besar. Pada periode ini, banyak perusahaan berbasis internet yang kemudian menawarkan sahamnya melalui initial public offering (IPO).

Dalam perjalanannya, banyak investor, baik institusi maupun individu, menjadi semakin spekulatif dan mengejar keuntungan tinggi di sektor teknologi yang berkembang pesat. Metrik penilaian tradisional sering kali diabaikan demi ekspektasi pertumbuhan di masa depan.

Pada puncak Dotcom Bubble, kapitalisasi pasar gabungan perusahaan-perusahaan internet diperkirakan mencapai triliunan dolar AS. Namun, penting untuk dicatat bahwa sebagian besar penilaian ini bersifat spekulatif, dan tidak didasarkan pada metrik keuangan tradisional seperti pendapatan atau pendapatan.

Banyak perusahaan internet pada saat itu hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak mempunyai keuntungan sama sekali, dan dinilai terutama berdasarkan ekspektasi pertumbuhan di masa depan.

Ilustrasi, Dotcom Bubble.
Ilustrasi, Dotcom Bubble. (CNBC)

Saat Dotcom Bubble, harga saham banyak perusahaan internet mengalami pertumbuhan yang luar biasa, seringkali tanpa adanya profitabilitas yang mendasarinya. Ini karena investor terpikat oleh potensi pendapatan di masa depan, sehingga menyebabkan valuasi perusahaan-perusahaan digital meningkat.

Meski demikian, spekulasi yang dilakukan investor tidak sepenuhnya menjadi penyebab terjadinya ledakan Dotcom Bubble. Melainkan, karena bisnis perusahaan-perusahaan digital yang dinilai tidak masuk akal, atau tergolong terlalu agresif tanpa memikirkan profitabilitas, yang kemudian menyebabkan krisis.

Banyak perusahaan digital pada era "Internet Boom" berfokus pada pertumbuhan dan perolehan pangsa pasar, mengorbankan profitabilitas jangka pendek. Investor bersedia mengabaikannya, dengan harapan bahwa perusahaan-perusahaan ini pada akhirnya akan memperoleh keuntungan besar di masa depan. Namun, tidak semua perusahaan mampu menghasilkan keuntungan.

Apalagi, beberapa perusahaan digital memiliki model bisnis yang tidak berkelanjutan, atau tidak memiliki jalur yang jelas menuju profitabilitas. Mereka mengandalkan asumsi tentang adopsi pengguna di masa depan, pendapatan iklan, atau sumber pendapatan spekulatif lainnya. Ketika asumsi ini terbukti terlalu optimis, banyak perusahaan menghadapi kesulitan keuangan.

Hasilnya, pada 1999-2000 mulai terjadi ledakan Dotcom Bubble, dimana banyak perusahaan digital menghadapi kesulitan keuangan dan mengajukan kebangkrutan. Beberapa perusahaan yang mengalami keruntuhan besar adalah perusahaan seperti Webvan, Pets.com, dan eToys. Kondisi ini terus berlanjut hingga 2001-2002.

Krisis ini menjadi pelajaran berharga tentang bahaya investasi spekulatif, pentingnya uji tuntas, dan perlunya penilaian yang realistis. Hal ini mendorong evaluasi ulang strategi investasi dan praktik manajemen risiko.

Krisis yang menerpa dunia digital ini juga membuka jalan bagi munculnya teknologi dan model bisnis baru. Internet terus berkembang sehingga memunculkan media sosial, e-commerce, dan inovasi lainnya.

Contoh Perusahaan yang Kolaps saat Ledakan Dotcom Bubble

Selama krisis yang menerpa dunia digital pada akhir dekade 1990-an hingga awal 2000-an, banyak perusahaan internet menghadapi kesulitan keuangan, kebangkrutan, dan penutupan.

Berikut ini adalah lima perusahaan internet terkenal yang bangkrut selama periode Dotcom Buble, disertai dengan valuasi atau kapitalisasi pasar puncaknya.

1. Kozmo.com

Ilustrasi, kozmo.com.
Ilustrasi, kozmo.com, salah satu perusahaan yang bangkrut di era Dotcom Bubble. (eBay)

Kozmo.com adalah layanan pengiriman online yang memungkinkan pelanggan memesan dan menerima barang seperti film, video game, dan makanan ringan melalui situsnya, tanpa biaya pengiriman atau persyaratan pesanan minimum.

Didirikan pada 1997, perusahaan ini dengan cepat mendapatkan perhatian, karena model bisnisnya yang ambisius. Kozmo.com menarik perhatian yang signifikan dari investor dan go public pada 1999. IPO-nya diterima dengan baik, dan perusahaan mencapai valuasi yang tinggi, yakni US$ 60 juta.

Meskipun populer, Kozmo.com menghadapi kesulitan keuangan karena tingginya biaya operasional, terutama biaya yang harus ditanggung terkait dengan fitur pengiriman gratis yang ditawarkannya. Pada awal 2001, Kozmo.com mengumumkan penghentian operasinya.

Penutupan perusahaan ini merupakan peristiwa penting pada tahap awal Dotcom Bubble, yang melambangkan tantangan yang dihadapi banyak perusahaan internet pada saat itu.

2. Pets.com

Ilustrasi, logo Pets.com.
Ilustrasi, logo Pets.com, salah satu perusahaan yang bangkrut di era Dotcom Bubble. (Failory)

Pets.com adalah online retailer perlengkapan hewan peliharaan yang mendapat perhatian signifikan selama booming dot-com di akhir dekade 1990-an. Perusahaan ini didirikan pada 1998 dan menjadi terkenal karena upaya pemasarannya.

Pets.com go public pada Februari 2000 di NASDAQ dengan simbol IPET. Harga saham saat IPO ditetapkan sebesar US$ 11 per saham. Melalui aksi IPO, perusahaan mampu mengumpulkan dana sekitar US$ 82,5 juta. Valuasi Pets.com sendiri tergolong tinggi saat itu, yakni mencapai US$ 300 juta.

Namun, dalam perjalanannya Pets.com menghadapi tantangan yang signifikan, termasuk biaya operasional yang tinggi, biaya pemasaran yang agresif, dan pasar yang kompetitif. Harga saham perusahaan dengan cepat menurun, dan akhirnya bangkrut pada November 2000, kurang dari setahun setelah IPO.

3. Webvan

Ilustrasi, Webvan.com.
Ilustrasi, Webvan.com, salah satu perusahaan yang bangkrut di era Dotcom Bubble. (Business Insider)

Webvan adalah perusahaan layanan pengiriman bahan makanan online yang didirikan pada 1996 oleh Louis Borders. Perusahaan ini menjadi salah satu korban ikonik dari Dotcom Bubble.

Webvan didirikan dengan tujuan untuk merevolusi pengalaman berbelanja bahan makanan, dengan memungkinkan pelanggan memesan secara online. Webvan berinvestasi besar-besaran membangun infrastruktur, termasuk gudang otomatis dan sistem robot. Perusahaan ini IPO pada November 1999, dan berhasil mencapai valuasi yang mencengangkan, yakni lebih dari US$ 7,9 miliar.

Meskipun valuasinya tinggi dan memiliki rencana ambisius, Webvan menghadapi tantangan keuangan yang signifikan. Besarnya biaya terkait pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur yang rumit, ditambah dengan rencana ekspansi yang agresif, menyebabkan kerugian yang semakin besar.

Setahun setelah IPO, Webvan menghadapi kesulitan finansial, dan mengajukan kebangkrutan pada Juli 2001, menandai salah satu kegagalan paling signifikan di era Dotcom Bubble.

4. eToys

Ilustrasi, eToys.com.
Ilustrasi, eToys.com, salah satu perusahaan yang bangkrut di era Dotcom Bubble. (Crunchbase)

eToys didirikan pada 1997 oleh Toby Lenk. Perusahaan ini memanfaatkan tren ritel online yang sedang berkembang saat itu, dengan menyediakan berbagai pilihan mainan untuk dibeli melalui situs webnya.

Perusahaan ini go public pada Mei 1999, dan disambut dengan antusiasme yang signifikan. Harga saham-nya melonjak, dan perusahaan mencapai kapitalisasi pasar puncak sekitar US$ 10 miliar.

Meskipun pertumbuhan dan popularitasnya pesat, eToys menghadapi tantangan finansial yang signifikan. Perusahaan berjuang untuk menghasilkan keuntungan, dan biaya operasionalnya, termasuk biaya pemasaran dan pemenuhan pesanan, yang melebihi pendapatannya.

Ketika Dotcom Bubble pecah pada 2000 dan koreksi pasar yang lebih luas terjadi, eToys tidak mampu mempertahankan operasinya. Perusahaan ini akhirnya mengajukan pailit pada Maret 2001.

5. Boo.com

Ilustrasi, Boo.com.
Ilustrasi, Boo.com, salah satu perusahaan yang bangkrut di era Dotcom Bubble. (ResearchGates)

Boo.com adalah online retailer di bidang fashion yang terkenal pada akhir dekade 1990-an, saat "Internet Boom". booming dot-com. Pada November 1999, hanya tujuh bulan setelah diluncurkan, perusahaan ini mengumpulkan sekitar US$ 135 juta dalam putaran pendanaan yang mencakup investasi dari perusahaan-perusahaan terkenal.

Putaran pendanaan ini berkontribusi pada valuasi perusahaan hingga ratusan juta dolar AS, yang didasarkan.pada ekspektasi pertumbuhan pesat dan potensi dominasi Boo.com di pasar ritel fashion online.

Namun, meski memiliki valuasinya tinggi dan investasi yang signifikan, Boo.com menghadapi tantangan operasional, termasuk biaya tinggi, teknologi yang kompleks, dan pasar yang kompetitif.

Perusahaan ini gagal mengubah penilaiannya menjadi profitabilitas yang berkelanjutan. Pada akhirnya, pada Mei 2000, Boo.com mengajukan kebangkrutan, menandai salah satu kegagalan besar di era Dotcom Bubble, karena hancur dalam waktu enam bulan sejak peluncurannya.

Lima perusahaan yang telah dipaparkan ini, hanyalah segelintir contoh dari kegagalan besar yang dialami oleh perusahaan digital di era "Internet Boom". Banyak pula perusahaan yang akhirnya diakuisisi oleh perusahaan digital lain, dan mampu meneruskan layanannya, meski kemudian ditutup.

Ada pula yang masih bertahan hingga saat ini, namun tidak populer. Misalnya, Excite.com, yang merupakan perusahaan search engine atau mesin pencari. Perusahaan yang didirikan pada 1994 ini kemudian bergabung dengan @Home Network, sebuah perusahaan yang fokus pada penyediaan layanan internet berkecepatan tinggi. Penggabungan keduanya bernilai sekitar US$ 6,7 miliar.

Namun, perusahaan ini kemudian mengalami masalah keuangan, dan meledaknya Dotcom Bubble di awal 2000-am semakin menekan Excite. Pasalnya, pendapatan iklan menurun, dan perusahaan menghadapi persaingan yang semakin ketat.

Pada 2001, Ask Jeeves, yang kemudian dikenal sebagai Ask.com, mengakuisisi bagian pencarian web dari Excite. Akuisisi ini menandai berakhirnya Excite sebagai portal internet independen, dan layanannya diintegrasikan ke dalam platform Ask Jeeves.

Meski krisis yang menerpa dunia digital ini menyebabkan kehancuran beberapa perusahaan internet, krisis ini tidak menghambat bisnis internet secara keseluruhan.

Dotcom Bubble membuat investor dan modal ventura menjadi lebih berhati-hati. Ada fokus yang lebih besar pada proses due diligence, serta adanya tuntutan agar startup memiliki strategi yang jelas dalam menghasilkan pendapatan. Krisis ini juga memunculkan beberapa perusahaan besar yang hingga kini masih merajai dunia digital, seperti Amazon, eBay, dan Google.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...