Penerbitan Obligasi 2022 Diprediksi Rp 151 T, Ini Sebaran Sektornya
PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memproyeksikan penerbitan obligasi bisa mencapai Rp 151 triliun pada 2022, atau tumbuh maksimal 37,27% dari proyeksi penerbitan surat utang sepanjang tahun ini. Hal ini dipicu pemulihan ekonomi dan kondisi pandemi Covid-19 yang berpotensi membaik.
Berdasarkan prognosis, nilai surat utang hingga akhir 2021 diperkirakan maksimal mencapai Rp 110 triliun atau Rp 120 triliun. Hingga November 2021, nilai penerbitan surat utang tercatat Rp 98,14 triliun.
"Kami mencoba memproyeksikan surat utang di 2022 rentangnya bisa mencapai Rp 102 triliun sampai Rp 151 triliun. (Artinya,) ada potensi penguatan perekonomian yang jauh lebih baik pada 2022 dan faktor pandemi yang harapannya lebih terkendali," kata Direktur Pemeringkatan Pefindo Hendro Utomo dalam Media Forum Pefindo, Kamis (16/12).
Adapun, Pefindo masih memiliki mandat pemeringkatan surat utang dari 29 perusahaan senilai Rp 42 triliun hingga akhir 30 November 2021. Dengan kata lain, akan ada surat utang sekitar Rp 20,14 triliun sampai Rp 30,14 triliun yang baru terealisasi pada awal 2022.
Jumlah perusahaan terbanyak datang dari sektor properti sebanyak empat perusahaan, sedangkan sektor konstruksi, pembangkit tenaga listrik, dan multifinance masing-masing menyumbang tiga perusahaan.
Pada 2022, Hendro menyarankan investor untuk mewaspadai surat utang perusahaan dari sektor yang terdampak pandemi Covid-19. Namun demikian, sektor yang sedang maupun telah mengalami perbaikan dari pandemi justru patut diperhatikan.
Sektor-sektor usaha yang patut diwaspadai kasih masih terdampak dari pandemi Covid-19 antara lain, perhotelan, pariwisata, dan penerbangan. Hendro berpendapat sektor-sektor itu masih akan menghadapi tantangan pada 2022.
Sementara itu, sektor-sektor yang dapat diperhatikan adalah perusahaan pembiayaan (multifinance) dan industri jalan tol. Seperti diketahui, penerbitan surat utang dari industri multifinance anjlok secara tahunan pada 2020. Namun, kini kondisinya dinilai telah masuk skenario perbaikan.
"Untuk sektor multifinance kami melihat tren pemulihan. Artinya dampak pandemi ini sudah mulai bisa diatasi perusahaan-perusahaan sektor multifinance," Hendro
Berdasarkan data Pefindo, nilai penerbitan surat utang industri multifinance turun 45.66% secara tahunan dari realisasi 2019 senilai Rp 26,42 triliun menjadi Rp 14,35 triliun pada 2020. Hingga November 2021, surat utang dari industri multifinance telah mencapai Rp 19,89 triliun.
Sementara itu, Pefindo masih memiliki mandat penerbitan surat utang dari industri multifinance senilai Rp 2,55 triliun dari 3 perusahaan. Artinya, nilai surat utang dari sektor multifinance pada tahun ini dapat mencapai Rp 22,44 triliun.
Selain itu, sektor lain yang dinilai dapat menjadi perhatian adalah industri jalan tol. Pertimbangannya, angka lalu lintas di jalan tol terus membaik sepanjang 2021 secara tahunan.
"Pada saat PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) kemarin (dampak ke lalu lintas harian) penurunannya tidak seberat awal pandemi. Kondisinya jauh lebih baik dibandingkan awal pandemi," kata Hendro.
Adapun, perseroan mendapatkan mandat penerbitan surat utang dari satu industri jalan tol senilai Rp 1 triliun. Sementara itu, tiga industri konstruksi juga menyerahkan mandat penerbitan surat utang ke Pefindo senilai Rp 5,82 triliun. Hingga November 2021, surat utang dari sektor konstruksi mencapai Rp 11,44 triliun atau 11,66% dari total nilai penerbitan surat utang.
Bagi investor ritel yang mau membeli reksa dana dengan aset dasar atau underlying surat utang, Hendro menyarankan agar memeriksa peringkat surat utang tersebut. Pasalnya, ujar Hendro, peringkat surat utang akan mencerminkan risiko surat utang yang dimaksud.
Pefindo mendata surat utang dengan peringkat rendah mengalami tingkat gagal bayar atau default yang lebih tinggi daripada surat utang dengan peringkat tinggi. Tingkat default surat utang dengan peringkat BBB hingga November 2021 adalah 4,47%, sedangkan surat utang dengan peringkat AAA tidak pernah default.
Adapun, perusahaan reksa dana merupakan investor terbesar di pasar obligasi korporasi saat ini dengan nilai investasi per September 2021 mencapai Rp 131,8 triliun. Angka itu berkontribusi hingga 26,99% dari total nilai pasar obligasi hingga akhir kuartal III-2021 mencapai Rp 488,2 triliun.
Hingga akhir 2022, nilai penerbitan surat utang baru maksimal mencapai Rp 151,2 triliun, sedangkan nilai surat utang yang jatuh tempo adalah Rp 150,9 triliun. Surat utang jatuh tempo paling banyak berasal dari sektor perbankan, yakni senilai Rp 25,5 triliun atau 16,9% dari total surat utang jatuh tempo.
Surat Utang Sektor Perbankan
Dalam catatan Pefindo, surat utang dari sektor perbankan selalu memiliki kontribusi yang besar ke pasar obligasi korporasi nasional. Namun, pandemi Covid-19 dinilai mengubah hal itu.
Pada 2020, penerbitan surat utang dari sektor perbankan hanya anjlok 67,52% secara tahunan dari realisasi 2019 senilai Rp 24,28 triliun menjadi Rp 7,88 triliun. Penurunan nilai surat utang ini disebabkan oleh menebalnya cadangan kas sektor perbankan akibat tumbuhnya nilai dana pihak ketiga (DPK)
PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia mencatat nilai tabungan dan deposito di perbankan hingga September 2021 naik sebesar 14% atau bertambah Rp 602 triliun menjadi Rp Rp 5.180 triliun dari posisi Februari 2020 senilai Rp 4.578 triliun.
Pada saat yang sama, indeks keyakinan konsumen (IKK) November tercatat naik menjadi 118,5 poin dari 113,4 poin pada bulan sebelumnya. Ini merupakan pembacaan tertinggi sejak awal pandemi. Indeks di atas 100 mengindikasikan konsumen yang makin optimistis, dan sebaliknya di bawah 100 berarti pesimis.
Mirae Asset meramalkan tingginya daya beli yang diikuti dengan tumbuhnya tingkat kepercayaan konsumen dapat meningkatkan pengeluaran rumah tangga pada tahun depan.
Namun demikian, Hendro menilai cadangan kas sektor perbankan masih cukup tebal untuk melakukan ekspansi penyaluran kredit pada 2022. Adapun, surat utang yang diterbitkan perbankan akan sebatas obligasi suboordinasi dengan tujuan perbaikan struktur permodalan.
"Kebutuhan pendanaan mereka lewat surat utang belum bisa pulih seperti sebelum pandemi. (Hanya) beberapa BPD (Bank Pembangunan Daerah) yang masih cukup rutin menerbitkan surat utang pada 2021. Pada 2022, saya rasa berlanjut tren tersebut," kata Hendro.