Investor Diminta Jangan Panik Hadapi Perubahan Batas Bawah Harga Saham
Batas auto reject bawah (ARB) 7% dinilai sudah tidak diperlukan lagi dalam kondisi seperti sekarang di mana pandemi sudah terkendali dan kinerja emiten sudah bagus lagi.
Sebab menurut Pengamat pasar modal direktur PT Avere Mitra Investama Teguh Hidayat, ketika batas ARB 7% masih berlaku sampai sekarang, maka bisa muncul efek samping, yakni meningkatnya aktivitas spekulasi pada saham-saham berfundamental buruk atau istilahnya saham gorengan karena adanya ilusi psikologis.
Alhasil, ada banyak investor atau lebih tepatnya trader spekulan, yang sekarang berani membeli saham-saham yang berisiko sangat tinggi dan tidak layak investasi, hanya karena berharap harganya besok bakal ARA 20-35%, dan mengetahui risiko ARB terbatas maksimal 7%.
Dia berpendapat memang sebaiknya batas ARB kembali ke 20-35 persen, agar para pelaku pasar kembali menjadi investor dengan membeli saham-saham dari perusahaan benar menghasilkan laba dan membayar dividen, dan bukan lagi menjadi spekulan dengan membeli saham-saham yang digiring opininya akan melesat.
"Jika Anda cukup yakin saham Anda itu benar bagus, tidak bermasalah, tidak usah khawatir karena dia tidak akan crash ARB 20-355. Dalam jangka panjang, hal itu akan membuat pasar modal Indonesia lebih sehat. Investor akan kembali profit dari saham-saham berfundamental bagus yang memang sudah selayaknya naik tinggi," kata Teguh dikutip dari laman websitenya dikutip Kamis (9/3).
Hanya memang dalam jangka pendek, mungkin kata dia akan timbul gejolak baru karena para investor angkatan korona, sebelumnya belum pernah mengalami melihat sebuah saham turun sampai 35% hanya dalam sehari sehingga mereka bisa jadi akan panik dan bisa membuat IHSG bergejolak.
Namun Teguh yakin gejolak itu tidak akan berlangsung selamanya. “Itu hanya bagian dari suatu kondisi yang terjadi akibat adanya penyesuaian sehingga ke depan pasar modal Indonesia akan bergerak sesuai dengan kinerja dan bukan hanya berdasarkan sentimen atau rumor,” katanya.
Sebagai informasi yang dimaksud dengan auto rejection adalah batas maksimal perubahan harga suatu saham yang bisa terjadi dalam satu hari perdagangan. Lebih spesifiknya, auto rejection atas (ARA) adalah batas maksimal kenaikan harga saham, sedangkan auto rejection bawah (ARB) adalah batas maksimal penurunan harga saham, dalam satu hari.
Sebelum bulan Maret 2020, peraturan BEI menyebutkan bahwa saham dengan harga nominal Rp 50–200 bisa naik atau turun maksimal 35% dalam sehari, nominal Rp 200–5.000 bisa naik atau turun maksimal 25% dalam sehari, dan nominal di atas 5,000 bisa naik atau turun maksimal 20% dalam sehari.
Namun pasca Maret 2020, peraturannya diubah di mana untuk batas ARA tidak ada perubahan, tapi untuk batas ARB maksimal 7% saja untuk semua saham.
Itu karena, dalam kondisi pasar yang sangat bergejolak di bulan Maret 2020 tersebut seiring merebaknya pandemi Covid-19 di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, IHSG dengan sangat cepat anjlok dari 6,000-an hingga sempat sesaat dibawah 4.000 pada tanggal 24 Maret. Maka disitulah bursa kemudian melakukan intervensi dengan memberlakukan batas ARB 7%, dan alhasil saham-saham dan juga IHSG, meski tetap anjlok, tapi penurunannya tidak sedalam seperti tahun 2008 lalu.
Sebelumnya pada Agustus 2015 lalu BEI juga pernah mengubah batas ARB menjadi maksimal 10% (dari sebelumnya 20–35%), juga karena market crash ketika itu. Dan beberapa waktu kemudian ketika pasar akhirnya berangsur-angsur normal dan tidak ada lagi kepanikan, maka batas ARB itu dikembalikan menjadi 20-35% pada Januari 2017, sebelum kemudian berubah lagi jadi maksimal 7% pada Maret 2020 karena IHSG anjlok karena dampak pandemi.