Guru Besar UNS Soroti Inkonsistensi Regulasi Securities Crowdfunding

Uji Sukma Medianti
Oleh Uji Sukma Medianti - Tim Publikasi Katadata
26 September 2023, 09:48
Prof Yudho menyoroti maraknya platform digital Securities Crowdfunding (SCF) atau layanan urun dana di industri pasar modal Indonesia yang belum didukung dengan regulasi yang solid.
Istimewa
Prof Yudho menyoroti maraknya platform digital Securities Crowdfunding (SCF) atau layanan urun dana di industri pasar modal Indonesia yang belum didukung dengan regulasi yang solid.

Pakar Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (FH UNS) Surakarta, Prof. Yudho Taruno Muryanto  dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Korporasi dan Investasi. 

Prof Yudho menjadi guru besar ke-287 UNS dan ke-11 Fakultas Hukum. Selain Prof Yudho, hari ini UNS juga mengukuhkan 5 guru besar lainnya dari Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Dalam pidato pengukuhannya di Auditorium Haryo Mataram UNS, Prof Yudho menyoroti maraknya platform digital Securities Crowdfunding (SCF) atau layanan urun dana di industri pasar modal Indonesia yang belum didukung dengan regulasi yang solid. 

Ia mencontohkan adanya inkonsistensi regulasi layanan investasi, masih tumpang tindihnya klasterisasi jenis dan instrumen investasi, serta persoalan tanggungjawab pengelolaan investasi dalam pemenuhan prinsip keterbukaan. 

Dia menyebut, inkonsistensi pengaturan di bidang investasi menimbulkan dualisme peran OJK. Di satu sisi, OJK mempunyai tugas pengaturan, pengawasan dan berwenang menetapkan suatu lembaga hukum/hubungan hukum masuk ke dalam kualifikasi sektor jasa keuangan dalam hal ini di bidang pasar modal. 

Namun, di sisi lain Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) menyatakan kegiatan layanan SCF tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari penawaran umum (pasar modal). 

“Regulasi seperti ini harus diperjelas dan dipertegas,” kata Prof Yudho dalam keterangan tertulis, Selasa (26/9).

Hubungan hukum para pihak yang terlibat dalam transaksi SCF diatur dalam POJK No. 57/POJK.04/2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi. Regulasi tersebut sudah di revisi menjadi POJK No 16 /POJK.04/2021. 

Sesuai POJK dalam SCF terdapat sejumlah pihak yang terlibat. Pertama, penyelenggara atau pemilik platform yang berperan untuk melakukan reviu atas usaha dan prospek usaha yang dimiliki oleh penerbit. 

Kedua, penerbit efek (instrumen surat berharga seperti saham, obligasi dan sejenisnya) yang merupakan pemilik usaha dan penerima modal. Ketiga, pemodal atau investor yang akan membeli efek yang diterbitkan oleh penerbit.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai bulan Agustus 2023 terdapat sebanyak 16 platform SCF yang telah mengantongi izin OJK dan menghimpun dana sebesar Rp 951,20 miliar. 

Total pelaku usaha yang terlibat dalam platform tersebut sebanyak 439 penerbit dengan jumlah pemodal mencapai 159.408 pihak.

Prof Yudho menilai, tujuan lahirnya SCF sangat baik. Melalui inovasi dan optimalisasi teknologi informasi atau digitalisasi di sektor investasi, pelaku usaha memiliki lebih banyak pilihan untuk mendapatkan modal bagi penguatan bisnisnya. 

Harapannya, dengan bisnis yang bertumbuh semakin solid, para penerbit dapat menjangkau akses modal yang lebih besar dengan melakukan initial public offering atau IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI).

“Efek yang diterbitkan oleh penerbit juga dipublikasikan di platform SCF seperti layaknya di BEI. Bedanya jumlah pemodal dan likuiditas efeknya masih terbatas. Pelaku usaha yang ikut dalam program SCF harus didorong untuk bisa IPO di pasar saham atau menerbitkan surat utang di BEI seperti emiten yang sudah go public lainnya,” ujar Prof Yudho.

Dalam pidatonya, Prof Yudho juga menyampaikan pentingnya standarisasi struktur usaha penerbit. Menurutnya tanggungjawab pemilik platform SCF juga akan lebih mudah jika ada standarisasi struktur dan bentuk badan usaha dari penerbit.

Baik dari aspek legalitas, tanggungjawab terhadap pihak ketiga serta adanya pemisahan antara harta kekayaan badan usaha dengan pemilik. Itu sebabnya Prof Yudho mengusulkan setiap penerbit di platform SCF berstatus Perseroan Terbatas. 

Adapun, lanjut dia, standarisasi badan usaha penerbit akan memudahkan penerbit untuk dapat meningkatkan status, kelas, dan kinerjanya, sehingga dapat listing di pasar modal seperti tujuan awal lahirnya SCF. 

“Menjadi tugas OJK bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh platform SCF dapat dipertanggungjawabkan dan berjalan baik,” tuturnya. 

Prof Yudho merupakan alumni Fakultas Hukum UNS angkatan tahun 1996 dan menjadi pengajar Hukum Perdata di FH UNS sejak tahun 2005. 

Pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur ini menyelesaikan studi program magister (S2) hukum dan doktoral (S3) di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Saat ini Prof Yudho menjadi Plt Wakil Dekan  II di FH UNS.

“Gelar akademik ini adalah amanah yang tidak mudah. Semoga ke depan,  bersama civitas akademis UNS lainnya, saya dapat berkontribusi lebih besar bagi kemajuan dan kesejahteraan Indonesia, khususnya di bidang hukum. Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung Fakultas Hukum dan UNS,” tutupnya.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...