IHSG Bakal di Level Segini Pada Penutupan Perdagangan 2024
Menjelang akhir tahun Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG diramal lesu. Adapun pada penutupan perdagangan sesi pertama siang ini, Jumat (27/12) IHSG turun 0,12% ke level 7.057. Tak hanya itu, IHSG diprediksi juga akan di zona merah pada penutupan perdagangan saham akhir 2024, Senin (30/12) mendatang.
Senior Equity Research Analyst Panin Sekuritas, Aqil Triyadi, mengatakan Panin Sekuritas memproyeksikan IHSG bakal ditutup di rentang level 7.100–7.200 pada penutupan perdagangan saham akhir tahun. Sebelumnya Panin Sekuritas menargetkan IHSG ditutup di 7.800, namun ia mengakui target tersebut kini jauh dari harapan.
Adapun proyeksi maksimal IHSG juga telah direvisi menjadi 7.300, tetapi peluang untuk level tersebut dinilai sangat kecil.
“Jadi paling di level 7.100-7.200 untuk tutup, ya,” kata Aqil ketika ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, dikutip Jumat (27/12).
Di samping itu, ia menilai peluang menguatnya IHSG hingga akhir tahun cukup tipis. Menurutnya, meskipun IHSG sempat menyentuh 7.100 di November, pergerakannya kini menjelang akhir tahun hanya sedikit lebih rendah.
Menurut Aqil, secara fundamental dan sentimen, tidak ada faktor signifikan yang mampu mendorong IHSG menguat hingga penutupan bursa 2024. Namun, ia mengatakan bahwa apabila nilai tukar rupiah tiba-tiba menguat terhadap dolar AS, faktor tersebut dapat menjadi katalis positif bagi pasar saham RI. Sebaliknya, apabila rupiah kembali melemah, kata Aqil, IHSG berpotensi ditutup di zona merah.
“Jadi kita concern kepada rupiah sih sampai akhir tahun ini,” tambah Aqil.
Panin Sekuritas mencatat bahwa selama 25 tahun terakhir, IHSG umumnya ditutup di zona hijau, kecuali pada tahun 2000 dan 2020. Berdasarkan tren historis, ia mengatakan lima hari terakhir perdagangan di akhir tahun biasanya IHSG ditutup menguat, dengan rata-rata kenaikan sekitar 1,3% dan sering dikaitkan dengan fenomena window dressing.
Namun, untuk tahun ini, Aqil mengatakan potensi kenaikan IHSG kemungkinan hanya berada pada kisaran 0,3% hingga 0,5%, jauh lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Meski Desember berpeluang ditutup positif, penguatan tersebut tidak cukup signifikan untuk disebut sebagai efek window dressing.
“Bahkan bisa jadi, ini (IHSG) akan jadi tahun ketiga untuk di Desember itu merah,” ucapnya.
Aqil menjelaskan bahwa meskipun ada beberapa sentimen positif dalam jangka pendek, seperti kebijakan suku bunga, dampak kebijakan Presiden Donald Trump pada 2025, dan penerapan PPN, faktor-faktor tersebut diperkirakan akan memberikan dampak negatif secara keseluruhan bagi pasar saham di 2025.
Faktor Penyebab IHSG Makin Lesu di Akhir 2024
Berdasarkan data dari London Stock Exchange Group (LSEG), IHSG tercatat sebagai bursa saham dengan kinerja kedua terburuk di Asia hingga 23 Desember 2024, dengan penurunan sebesar 2,42% secara year to date (ytd).
Sementara itu, Indeks Kospi dari Korea Selatan menjadi indeks yang berkinerja paling buruk di Asia, dengan penurunan hingga 8,03% ytd pada periode yang sama. Padahal, saham-saham di Asia-Pasifik memiliki kinerja yang baik pada tahun 2024. Bursa Taiwan memimpin kenaikan di kawasan ini.
Indeks Taiex telah melaju 28,85% berkat ledakan kecerdasan buatan (AI) yang mengangkat saham-saham teknologi. Indeks Hang Seng di Bursa Hong Kong berada di posisi kedua dengan kenaikan 16,63%. Indeks Strait Times Singapura berada di posisi ketiga dengan kenaikan 15,78%.
Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB Universitas Indonesia (UI), Budi Frensidy, mengatakan ada sejumlah faktor eksternal dan internal yang memengaruhi pergerakan IHSG. Faktor eksternal meliputi tingginya suku bunga The Fed dan penurunannya yang tidak seperti ekspektasi pelaku pasar. Faktor lainnya adalah penguatan indeks dolar AS ke level tertinggi, serta potensi perang tarif (perang dagang) di bawah pemerintahan Presiden terpilih AS Donald Trump.
Dari sisi domestik, faktor-faktor yang berpengaruh mencakup kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang besar tahun ini. Selain itu, ada faktor nilai tukar rupiah yang melemah hingga menembus Rp 16.000 per dolar AS dan pertumbuhan ekonomi yang melambat karena konsumsi yang lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya.
Budi juga menyebut belum ada tanda-tanda IHSG akan menuju zona hijau pada 2025.
“Belum ada tanda-tanda akan bullish,” kata Budi kepada Katadata.co.id, Selasa (24/12).