Ekonom Bicara: Sederet Sentimen Berperan di Balik Kejatuhan IHSG

Ringkasan
- IHSG mengalami penurunan signifikan dan sempat dihentikan sementara (trading halt) oleh BEI. Penurunan IHSG ini dipicu oleh sentimen global dan domestik, termasuk prospek pertumbuhan ekonomi yang melambat.
- Perang dagang, risiko resesi AS, dan penurunan harga komoditas seperti batu bara turut menekan IHSG. Ketidakpastian kebijakan dalam negeri dan masalah komunikasi pemerintah juga memperburuk sentimen pasar.
- Isu pergantian Menteri Keuangan Sri Mulyani menambah keresahan investor, yang melihatnya sebagai figur penting dalam perekonomian Indonesia. Namun, Sri Mulyani membantah isu pengunduran dirinya dan menegaskan komitmennya untuk tetap menjabat.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat melorot hingga 6,12% ke level 6.076,08 pada penutupan sesi pertama Selasa, (18/3) siang. Otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) langsung menghentikan sementara perdagangan atau trading halt. Meski sudah rebound, IHSG pada penutupan Jumat, (21/3) masih berada di zona merah, turun 1,94% ke level 6.258,18.
Sejak awal tahun, IHSG sudah melorot 11,61%. Penurunan IHSG ini merupakan salah satu penurunan terparah di antara bursa saham negara-negara di Asia. Nilai penjualan bersih (net foreign sell) investor asing Indonesia juga sudah melebihi Rp 30 triliun.
Sejumlah ekonom buka suara dalam Katadata Podcast, membeberkan berbagai sentimen global dan sentimen domestik yang menjadi penyebab kejatuhan bursa saham Indonesia. Prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat hingga ketidakpastian kebijakan dalam negeri mewarnai penurunan IHSG.
Berikut ini penjelasan lengkapnya.
Penurunan Prospek Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menyebut, laporan interim Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada Maret 2025 yang memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 dari 5,2% menjadi 4,9% adalah salah satu di antara faktor-faktor yang menyebabkan IHSG anjlok. Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini juga terjadi di sejumlah negara berkembang lainnya, terutama negara-negara G20.
“OECD memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,2% menjadi 4,9%. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi juga diproyeksikan menjadi 5%,” kata Josua dalam Katadata Podcast ‘Ekonom Bicara: Market Crash dan Hantu Krisis Ekonomi 1998’, yang ditayangkan di kanal YouTube Katadata Indonesia.
Ekonom yang pernah menjabat Staf Khusus Menteri Keuangan 2020-2024, Masyita Crystallin, mengatakan prospek pertumbuhan ekonomi akan selalu berdampak pada pergerakan pasar saham.
“Setiap kali ada perubahan estimasi atau forecast pertumbuhan ekonomi di negara manapun, equity market biasa adjusting karena mereka long-term,” kata Masyita di podcast yang sama.
Pasar juga merespons negatif neraca anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang mengalami defisit dua bulan berturut-turut di awal tahun. Per Februari 2025, defisit APBN sudah mencapai Rp31,2 triliun atau 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Trennya di awal tahun tidak pernah defisit. Tapi, ini untuk pertama kalinya neraca fiskal kita defisit,” kata Josua.
Perang Dagang Jilid II
Ekonom sekaligus Expert Panel Katadata Insight Center Gundy Cahyadi menyebut faktor global perang dagang jilid dua yang semakin memanas juga menjadi pemicu tertekannya bursa saham sejumlah negara berkembang sejak awal tahun.
“Juga statement dari Presiden Donald Trump tentang risiko resesi AS tahun ini. Ini membuat investor semakin menebak-nebak prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan,” kata Gundy dalam podcast yang sama.
Untuk diketahui, Trump mengumumkan perang dagang jilid dua terhadap Cina, Kanada, dan Meksiko setelah pelantikannya sebagai Presiden AS pada 20 Januari lalu. Ketidakpastian global membuat bank sentral AS, The Fed, cenderung menahan suku bunga tinggi di kisaran 4,25% sampai 4,5%.
Tren Penurunan Harga Komoditas Strategis
Anjloknya bursa saham dibarengi dengan sejumlah emiten energi berkapitalisasi besar yang juga anjlok. Hal ini karena batu bara sebagai salah satu komoditas ekspor utama Indonesia mengalami penurunan harga hingga sempat mencapai level terendah sejak pertengahan tahun 2021.
“Kalau kita lihat saham-saham energi pun juga terkerek ke bawah kemarin karena harga komoditas batu bara sudah dua hari terakhir sudah di bawah US$100/ton,” kata Josua.
Pada Kamis (20/3), harga batu bara berdasarkan data Refinitiv mencapai US$101,1/ton atau turun 1,27%. Sejak awal tahun, penurunan harga batu bara sudah mencapai sekitar 22%.
Masalah Komunikasi dan Ketidakpastian Kebijakan
Josua juga menyebut, sejumlah ketidakpastian kebijakan dalam negeri, baik yang sedang dirancang maupun sudah dirilis pemerintah sedang menjadi perhatian investor asing.
“Beberapa kebijakan yang sudah di-sounding bahkan diluncurkan, dibatalkan, atau ditunda. Tentu ini memberikan ketidakpastian di kalangan investor asing,” kata Josua.
Masyita menyoroti komunikasi kebijakan ekonomi pemerintah yang juga kurang terkoordinasi dengan baik sehingga membuat pasar resah. Akibatnya, pasar bergejolak. Hal ini terindikasi pada aliran keluar modal asing atau capital outflow yang tinggi.
“Salah satu yang disebut adalah ketidakpastian komunikasi mengenai Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Itu menjadi sentimen yang cukup negatif,” kata Masyita.
Isu Mundurnya Sri Mulyani
Isu reshuffle kabinet Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sempat membuat pasar resah. Menurut Masyita, investor global melihat Sri Mulyani sebagai juru bicara dari berbagai kebijakan ekonomi Indonesia.
“Ketika terjadi keraguan apakah Bu Sri Mulyani tetap menjadi Menteri Keuangan, persepsi terhadap kebijakan berubah,” kata Masyita.
Merespons keresahan pasar akibat isu yang beredar, Sri Mulyani menegaskan, ia tetap bersama Kabinet Merah Putih.
“Saya tegaskan saya ada di sini, berdiri, dan tidak mundur. Saya mengelola APBN dan bersama tim Kemenkeu terus menjaga keuangan negara,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, Selasa (18/3).