Mengapa Wacana Pengambilalihan Paksa 51% Saham BBCA Dianggap Tak Logis?

Karunia Putri
21 Agustus 2025, 12:45
obligasi rekapitulasi, BCA, ekonomi
Katadata/Fauza Syahputra
Ilustrasi.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Wacana pengambilalihan paksa 51% saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang didengungkan sejumlah tokoh politik menjadi sorotan para pelaku pasar modal. Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, kepastian hukum dan investasi di Indonesia berpotensi rusak jika wacana ini benar-benar direalisasikan.

“Kita harus move on, meninggalkan krisis ekonomi 1998 dan fokus pada perbaikan daya saing ekonomi kita,” kata Wijayanto kepada Katadata.co.id pada Kamis (21/8).

Gagasan ini digaungkan oleh Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinegoro. Ia menyinggung kembali keterkaitan BCA dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada krisis 1998, serta pelepasan 51% saham pemerintah di BCA pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Sasmito bahkan menyebut bahwa kas Danantara dapat bertambah Rp 700 triliun jika pengambialihan BCA dieksekusi.  Dukungan atas wacana ini pun datang dari Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi Teknologi DPP PKB, Ahmad Iman Syukri. Ia menyatakan partainya mendukung usulan agar negara mengambil alih saham BCA.

Wacana ini sebenarnya telah dibantah oleh Danantara maupun BCA.  Namun, apa risiko dari isu pengambilalihan bank swasta terbesar di Indonesia ini?

Wijayanto menekankan, reputasi Indonesia di dunia internasional berpotensi rusak jika pemerintah dan DPR menangggapi wacana ini. Menurut dia, tanggapan dari wacana ini akan membuka peluang oknum tertentu untuk mempermasalahkan seluruh transaksi yang dilakukan oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional).

Ia menjelaskan, duduk masalah yang diangkat dari wacana pengambialihan BCA adalah obligasi rekapitulasi sebesar Rp 430 triliun yang digulirkan pemerintah kepada bank-bank bermasalah untuk keluar dari krisis ekonomi 1998. Obligasi ini kala itu diterbitkan pemerintah untuk memperbaiki neraca permodalan bank-bank bermasalah lantaran pemerintah tak memiliki uang untuk melakukan injeksi modal.

"Yang menjadi isu, hasil penjualan aset yang diterima oleh pemerintah lebih rendah dari nilai obligasi rekapitulasi, sehingga sebagian kalangan menganggap telah terjadi kerugian negara," ujarnya. 

Namun, menurut dia, publik mesti paham bahwa aset yang dijual oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pascakrisis 1998 , termasuk BCA kala itu memiliki tiga masalah. Pertama, bank atau aset tersebut dalam kondisi bermasalah. Kedua, ekonomi dalam kondisi krisis parah. Ketiga, situasi politik sangat tidak stabil setelah kejatuhan Presiden Soeharto. 

“Investor memandang tiga hal tersebut sebagai risiko yang tinggi, risiko itulah yang menyebabkan harga aset rendah,” kata dia.

Saat itu, menurut dia, tingkat pengembalian atau recovery rate penjualan aset BPPN mencapai 22-23%. Angka ini tidak berbeda jauh dengan recovery rate di Thailand dan Korea Selatan. Angka tersebut, menurut dia, lebih tinggi dari recovery rate empat negara Eropa saat mengalami krisis 2009, seperti Portugal, Italia, Yunani dan Spanyol di kisaran 15%. 

“Sangat tidak realistis membandingkan perolehan hasil penjualan aset pada saat krisis 1998, dengan nilai aset yang sama saat kondisi normal saat ini, 27 tahun kemudian,” ujarnya. 

Dia juga menyoroti tentang wacana akuisisi saham BCA tersebut akan digelontorkan untuk Danantara. Menurutnya, Danantara adalah institusi yang sangat paham keuangan, psikologi pasar dan hukum. Lembaga ini didirikan untuk menjaga iklim investasi dan iklim bisnis di Indonesia

“Tidak logis bagi Danantara untuk mempercayai wacana-wacana tersebut, seperti telah nyatakan oleh Rosan Roeslani,” katanya.

CEO Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) Rosan Roeslani sebelumnya telah menyatakan bahwa  tidak memiliki rencana untuk mengakuisisi saham bank raksasa tersebut.

Menurut Wijayanto, program penyelamatan ekonomi saat 1998 silam telah berhasil membawa Indonesia keluar dari krisis. Penjualan aset oleh BPPN dan divestasi BUMN dijalankan dengan payung hukum dan teknokrasi yang solid. 

“Kita yang mengalami krisis 1998 tidak menyangka Indonesia bisa keluar dari krisis multidimensi tersebut dengan cepat. Sesuatu yang harus kita syukuri,” kata dia.

Tanggapan BCA

Manajemen BCA sebelumnya juga telah buka suara terkait wacana ini. Dalam keterbukaan informasi terbaru yang disampaikan pada Bursa Efek Indonesia, manajemen BCA menegaskan tak ada masalah dalam peralihan saham perusahaan dari pemerintah ke Grup Djarum, tak seperti yang dihembuskan Sasmito. 

“Angka Rp 117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan,” ujar Corporate Secretary BCA I Ketut Alam Wangsawijaya seperti dikutip Rabu (20/8). 

Ia mengatakan, nilai pasar ditentukan oleh harga saham perusahaan di bursa efek, dikalikan dengan jumlah total saham yang beredar. Selanjutnya seiring BCA yang sudah melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2000, maka harga saham BCA terbentuk berdasarkan mekanisme pasar.

Pada saat proses strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di Bursa Efek Indonesia adalah sekitar Rp 10 triliun. Angka inilah yang, menurut Ketut, menjadi acuan valuasi saat transaksi berlangsung.

“Dengan demikian, nilai akuisisi 51% saham oleh konsorsium FarIndo yang menang melalui tender, merupakan cerminan dari kondisi pasar saat itu,” ujar Ketut. 

Ia menjelaskan, tender dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) secara transparan dan akuntabel. Ia memastikan proses peralihan saham sudah dilakukan sesuai ketentuan. 

Ketut juga membantah narasi bahwa BCA memiliki utang kepada negara senilai Rp 60 triliun yang diangsur setiap tahun sebanyak Rp 7 triliun. Menurut Ketut, BCA saat ini tak lagi memiliki aset berupa obligasi rekapitulasi pemerintah dalam neraca keuangan. Obligasi senilai Rp 60 triliun ini seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Karunia Putri
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...