Investor Asing Marak Buang Saham, Bagaimana Masa Depan Pasar Modal Indonesia?
Investor asing masif melakukan aksi jual pada saham-saham Tanah Air beberapa waktu terakhir. Hal yang menarik adalah, saham-saham dengan fundamental kuat seperti saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), yang dikenal sebagai penopang indeks.
Berdasarkan data perdagangan Bursa Efek Indonesia periode 13-15 Oktober 2025, investor asing tercatat melakukan aksi jual sebesar Rp 1,23 triliun pada saham bank BBRI dengan melepas sebanyak 3,4 juta lot. Sementara itu, investor global telah melepas 786,4 ribu saham BBCA atau senilai Rp 572,9 miliar.
Tim riset Kiwoom Sekuritas, Miftahul Khaer menilai, alasan investor asing melepas saham bank jumbo tersebut cukup kompleks, bukan hanya karena fundamentalnya. Menurutnya, investor asing melepas saham BBCA dan BBRI karena ada sentimen global dan alokasi ulang portofolio mereka.
“Dari pandangan kami investor institusi tampaknya memperhitungkan risiko makro seperti suku bunga global, kurs, likuiditas, dan ketidakpastian ekonomi global sebagai pemicu untuk mendistribusikan risiko,” kata Mifta kepada Katadata.co.id pada Rabu (15/10).
Lebih lanjut, dia menjelaskan, pasar cenderung beralih ke saham-saham yang punya momentum yang lebih bullish seperti saham komoditas.
Kiwoom Sekuritas memperkirakan, fase aksi jual ini akan bertahan sampai ada katalis baru yang akan meredakan. Katalis tersebut bisa berasal dari kebijakan moneter global yang lebih jelas, data ekonomi positif di Amerika Serikat, menurunnya tensi perang dagang, ataupun stimulus domestik yang mulai berdampak pada kinerja bank-bank besar.
“Begitu ada sinyal pemulihan kemungkinan besar aliran modal asing bisa kembali ke negara-negara emerging market,” ujarnya.
Senada dengan Mifta, Kepala Riset dan Ekonomi PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto pun menyatakan, kekhawatiran investor asing terhadap pasar Indonesia masih belum mereda.
Sementara itu, Kepala Riset dan Ekonomi PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, menilai kekhawatiran investor asing terhadap pasar Indonesia masih belum mereda.
“Menurut saya, kekhawatiran investor asing ini belum berakhir. Apalagi dengan rencana pemerintah menurunkan PPN, kebijakan itu bisa dianggap sebagai risiko terhadap disiplin fiskal (fiscal prudence),” ujar Rully.
Ia menilai, alasan investor asing melakukan aksi jual terhadap saham-saham Tanah Air karena tengah mempertimbangkan stabilitas makroekonomi Indonesia. Dia menjelaskan, investor asing dalam membeli saham lebih mempertimbangkan sentimen tersebut dibandingkan prospek pertumbuhan emiten. Pergerakan nilai tukar rupiah juga menjadi perhatian utama.
“Kalau misalkan mereka masuk ya mereka lihat rupiahnya di 16.500 Kalau misalkan rupiahnya melemah ya bisa terdepresiasi ke 17.000 Pasti mereka juga akan mikir-mikir, jadi itu yang mungkin mereka pikirkan,” katanya.
Menurut Rully, faktor risiko fiskal yang tinggi, volatilitas rupiah dan potensi inflasi menjadi alasan utama investor asing memilih berhati-hati.
“Untuk sementara, pergerakan pasar memang lebih banyak didominasi oleh investor ritel domestik,” ujarnya.
Di lain sisi, pengamat pasar modal Teguh Hidayat menyebut, pergeseran perilaku investor ini mulai terasa pascapandemi Covid-19. Saat itu, investor asing yang sebelumnya mendominasi pasar mulai mencatatkan aksi jual atau net sell secara konsisten setiap tahun.
Situasi ini berbalik arah dari sebelum pandemi. Menurut Teguh pada periode sebelum covid-19 investor asing mendominasi transaksi di bursa efek Indonesia dengan perbandingan 60% untuk investor asing dan 40% untuk investor domestik.
Usai pandemi sekitar tahun 2022-2023, porsi itu berbalik dengan transaksi investor asing sebesar 40% di bursa indonesia dan investor domestik sisanya, 60%. Sementara saat ini, Teguh menghitung porsi investasi investor asing hanya tinggal 30% saja.
“Itu karena memang mereka keluar terus setiap tahun, sejak Covid. Nggak ada satu tahun dimana mereka netbuy, selalu netsell. Netsellnya itu juga angkanya gede-gede, Rp 50 triliun atau Rp 30 triliun,” kata Teguh ketika dihubungi Katadata.co.id pada Jumat (10/10).
Menurut Teguh, penurunan minat asing ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya, melemahnya kinerja sejumlah emiten dan tingginya ketergantungan perekonomian nasional terhadap komoditas, terutama batu bara.
Seiring dengan turunnya harga batu bara global, investor asing semakin enggan kembali masuk ke pasar saham Indonesia. “Karena harga batu baranya turun terus, ya sudah mereka juga tidak tertarik untuk masuk lagi ke sini,” jelasnya.
Jika tren net sell asing terhadap saham-saham perbankan jumbo terus terjadi, Teguh memperkirakan tekanan harga masih akan berlanjut. Alhasil, investor lokal pun beralih ke saham konglomerat dan saham gorengan yang dinilai memberikan imbal hasil cepat, meskipun berisiko tinggi.
Teguh menilai, fenomena ini membuat pasar saham Indonesia menjadi tidak sehat. Meskipun kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus mencetak rekor tertinggi atau all time high (ATH). Kenaikan IHSG tidak lagi mencerminkan kekuatan fundamental emiten, melainkan didorong oleh euforia dan pergerakan spekulatif pada saham konglomerat.
