Bobby Nasution Ancam Tutup Toba Pulp Lestari (INRU), Bagaimana Duduk Perkaranya?

Nur Hana Putri Nabila
26 November 2025, 17:36
Pengolahan produk kayu PT Toba Pulp Lestari di Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara
Katadata
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, mengeluarkan surat rekomendasi menutup operasional perusahaan kertas PT Toba Pulp Lestari Tbk. Penutupan dipilih lantaran konflik agraria berkepanjangan dengan masyarakat adat di Buntu Panaturan, Desa Sihaporas, Sumatera Utara.

Rekomendasi penutupan keluar setelah Bobby bertemu dengan masyarakat terdampak, pimpinan gereja, dan lembaga pendamping pada Senin (24/11). Bobby pun menyampaikan rekomendasi penutupan selanjutnya akan diserahkan ke pemerintah pusat yang berwenang untuk menutup perusahaan.

Setelah rekomendasi keluar, pada Rabu (26/11) manajemen Toba Pulp bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi XIII dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Kementerian HAM mengenai konflik yang terjadi.

Toba Pulp Lestari merupakan perusahaan yang bergerak di bidang produksi dan perdagangan bubur kertas, bahan kimia dasar, produk kayu, serta pengelolaan konsesi hutan tanaman industri. Saat ini kepemilikan Toba Pulp dikuasai perusahaan asal Hong Kong Allied Hill Limited dengan kepemilikan 92%. 

Sebelumnya, PT Toba Pulp Lestari Tbk bernama PT Inti Indorayon Utama Tbk dan merupakan perusahaan bubur kertas milik pengusaha Sukanto Tanoto. Perusahaan itu berdiri pada tahun 1983 dan melakukan pencatatan saham atau IPO di BEI pada 1990.

Konflik antara Toba Pulp dan masyarakat adat Lamtorus Sihaporas berlangsung sejak 2018. Warga menilai perusahaan mengambil ruang hidup masyarakat adat, merusak lingkungan dan melakukan intimidasi.

Dukungan penolakan operasional Toba Pulp pun meluas. Desakan agar pemerintah menutup operasional perusahaan yang berada di dekat Danau Toba itu datianng dari pemuka agama, aktivis lingkungan, organisasi masyarakat dan akademisi. 

Sepanjang 2025, gelombang protes terus terjadi dengan beberapa kali aksi digelar di depan gedung parlemen. Pada Oktober, Komisi XIII DPR pun datang langsung ke lokasi dan membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF).  

Sebaliknya, Toba Pulp menyebut sering mendapat serangan dari warga di wilayah konsesi. PT Toba Pulp Lestari Tbk (INRU) atau TPL buka suara usai bisnis operasionalnya disebut mencemari lingkungan hingga konflik tanah adat itu.

Aksi unjuk rasa masyarakat suku batak di Medan
Aksi unjuk rasa masyarakat suku batak di Medan (ANTARA FOTO/Yudi Manar/YU)

Penjelasan Manajemen Toba Pulp 

Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, Direktur Toba Pulp Lestari, Jandres Halomoan Silalahi, memberi penjelasan ihwal dugaan kerusakan lingkungan yang disebut disebabkan perusahaan dan membuat mereka terancam ditutup. Jandres mengatakan perusahaan telah meningkatkan kinerja lingkungannya. 

Pada 2017–2019, Toba Pulp Lestari melakukan peremajaan pabrik untuk menyempurnakan pengelolaan lingkungan. Ia menyatakan isu pencemaran yang ditujukan kepada perusahaan tidak ada buktinya. Bahkan penelitian independen Bank Dunia mengenai pencemaran di kawasan Danau Toba menunjukkan Toba Pulp Lestari tidak berkontribusi terhadap pencemaran itu.

Jandres juga menyebut pada 2022 perusahaan mengaudit penuh dari hulu ke hilir berdasarkan SK yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Dari hasil audit menyatakan perseroan dinyatakan taat, artinya dari semua aspek kegiatan yang diaudit pada masa itu, lingkungan, ekologi, produksi, lingkungan dan lain-lain itu semua dinyatakan taat,” kata Jandres dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi XIII DPR RI, Rabu (26/11). 

Selain itu Jandres juga menerapkan dua pendekatan dalam penyelesaian konflik dan peningkatan ekonomi masyarakat, yakni resolusi konflik internal serta kemitraan di dalam dan luar konsesi. Di area konsesi, perusahaan bekerja sama dengan kelompok tani hutan pada lahan 7.708 hektare.

Kemudian di luar konsesi Toba Pulp Lestari menanamkan kayu rakyat seluas 11.865 hektare. Hingga kini, Toba Pulp Lestari telah menandatangani 3.498 kontrak kemitraan. Ia menegaskan program penanaman eucalyptus sudah memberikan manfaat, hingga meningkatkan pendapatan masyarakat.

Berikut historis klaim tanah adat yang disampaikan perusahaan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat. 

  1. Operasional Toba Pulp Lestari dimulai sejak Juni 1992 tanpa konflik tanah adat. Operasional sempat berhenti pada Agustus 1998–Februari 2003, namun tidak ada penggarapan areal tanaman eucalyptus oleh masyarakat hukum adat.
  2. Terdapat 10 klaim tanah adat yang kemudian tercantum dalam SK 179/MenLHK/Setjen/HPL.0/4/2017.  Klaim muncul setelah staf KSP Noer Fauzi Rahman menyampaikan adanya 10 wilayah klaim seluas 17.249 ha di 11 lokasi berdasarkan paparan pada rapat 8 Agustus 2016 di KLHK.  KSP meminta area tersebut dikeluarkan dari konsesi TPL.
  3. Pada pertemuan lanjutan 12 Agustus 2016 di KLHK antara KSP, Dirjen Planologi, dan TPL, terjadi perubahan data: luas menjadi 25.148 ha serta pergeseran lokasi dan komunitas.  TPL diminta bersedia melepas 1 komunitas dari konsesinya untuk diserahkan kepada Presiden.
  4. Pada 14 Agustus 2016 di Hotel Permata Bogor, KLHK membahas rencana pelepasan 1 komunitas (Pandumaan–Sipitu Huta).  TPL diminta menyampaikan kesediaan secara tertulis.
  5. Pada 15 Agustus 2016, TPL menyampaikan surat kesediaan kepada Menteri LHK untuk menyerahkan areal perencanaan kemasyarakatan adat, sesuai permintaan KLHK.
  6. Pada 21 Desember 2016, konsesi TPL di-addendum berdasarkan SK MenLHK No. 923/MenLHK/Setjen/HPL.0/12/2016 seluas 5.172 ha.
  7. Pada 14 Maret 2017, TPL berkonsultasi dengan Dirjen Planologi Kehutanan, yang saat itu memberi data spasial enam lokasi hutan masyarakat adat seluas 5.589 ha untuk diidentifikasi.
  8. Pada 4 April 2017, SK IUPHHK TPL kembali di-addendum menjadi SK 179/MenLHK/Setjen/HPL.0/4/2017. SK ini menugaskan verifikasi lapangan untuk 10 lokasi klaim tanah adat, termasuk Nagahulambu, Ama Raja Medang Simamora Aek Lung, Pagar Batu, Bolus–Sabungan Nihuta IV, Nagasaribu Onan Harbangan, Nagasaribu Raja Patik Sirambe, Tungkosisolu, Matio, Pargaman Bintang Maria Simataniari, dan Sionom Hudon.
  9. Pada 7 Agustus 2017, Balai PSKL Wilayah Sumatera menggelar rapat yang dipimpin Kepala Balai Ratna Hendratmoko untuk membahas hutan adat di area TPL.
  10. Pada Maret 2018, TPL berkonsultasi dengan Direktur PKTHA/PSKL, yang memberikan data spasial lima komunitas adat seluas 4.205 ha. Konsep penyelesaian disepakati mengikuti arahan direktur.
  11. Pada 3 Mei 2018 di Hotel Santika Medan, Direktur PKTHA Irmansyah Rachman memimpin rapat antara TPL, KSPPM, dan lima komunitas adat untuk membahas penyelesaian klaim tanah adat berdasarkan regulasi. Rapat juga mengusulkan penyusunan MoU penghentian konflik.
  12. Kesepakatan gagal dicapai karena KSPPM mengajukan banyak persyaratan baru yang dianggap menghambat kegiatan HTI, termasuk larangan menanam kembali areal hutan yang sudah dipanen, berbeda dengan arahan dan kesepakatan lisan sebelumnya.
  13. Gagalnya upaya penghentian konflik memicu kekecewaan di masyarakat, sehingga beberapa kelompok meminta komunikasi langsung dengan TPL.
  14. Banyak kelompok masyarakat yang awalnya menuntut tanah adat kemudian mengajukan skema win-win setelah melihat proses pertemuan. Komunitas mulai mengundang TPL untuk bekerja sama di desa.
  15. Usulan kerja sama tersebut kembali ditawarkan langsung oleh masyarakat.

Merujuk pada kronologi yang disusun perusahaan Jandres membantah INRU telah menyalahi aturan. “Jadi tidak benar sebenarnya bahwa kalau dinyatakan bahwa perseroan yang sudah beroperasi sejak tahun 1992 mencaplok atau menggarap tanah adat yang dimaksud itu,” ucapnya. 

Fasilitas produksi PT Toba Pulp Lestari Tbk di Porsea, Sumatera Utara
Fasilitas produksi PT Toba Pulp Lestari Tbk di Porsea, Sumatera Utara (Indonesialeaks)

Klaim Toba Pulp Soal Konflik

Lebih lanjut Jandres juga mengatakan konflik antara Toba Pulp Lestari dan Masyarakat Adat Lamtoras Sihaporas di Simalungun, Sumatera Utara, mulai muncul pada 2018. Ia menyebut konflik itu masuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Sipolha.

“Itu makanya sekarang masyarakat dari Sipolha pun akhirnya berkonflik dengan perseroan,” ujarnya, 

Jandres menyampaikan kelompok masyarakat adat itu menilai perusahaan sengaja memelihara konflik di Kabupaten Simalungun. Ia menjelaskan pada 2022, melalui mediasi Bupati Simalungun saat itu, Raditya Apusinaga, Toba Pulp Lestari telah menyetujui pengalokasian lahan seluas 75 hektar yang berdekatan dengan Dusun Aik Batu. 

Namun, berdasarkan inventarisasi pada 22 September lalu, perusahaan menemukan masyarakat telah menanam kopi dan jahe di sekitar 60 hektare lahan di wilayah Kelurahan Sipolha.

Meski TPL menawarkan 75 hektare, kata Jandres, perwakilan Lamtoras kemudian menyampaikan kepada pemerintah Kabupaten Simalungun bahwa mereka menolak tawaran itu. Ia menyebut mereka justru meminta penguasaan penuh atas area klaim seluas 2.050 hektare, di mana 1.287 hektare di antaranya berada di dalam konsesi perusahaan.

“Sebenarnya perlu kami sampaikan, bahwa Lamtoras, marga Ambalita, menurut sejarahnya itu berasal dari Pulau Samosir, datang ke Sipolha, kecamatan Pematang Sidamanik, lalu bertempat tinggal di Desa Sihaporas.

Alat Berat Dibakar, Mobil Dinas Dirusak

Seiring dengan itu Jandres juga mengatakan dua unit alat berat milik perusahaan dibakar pada 2019. Pada September tahun yang sama, staf humas perusahaan dianiaya juga dituduh memukul anak balita hingga beredar di media sosial.

Ia menegaskan insiden itu terjadi di dalam konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan tidak sesuai fakta. 

Kemudian perusahaan telah bermitra dengan masyarakat Desa Sihaporas, termasuk menyediakan farm tractor untuk pengembangan pertanian dan menandatangani MoU. Llau pada 2022, area seluas 672 hektare milik perusahaan ditebang dan dibakar, hingga dirusak, hingga sejumlah mobil dinas juga dibakar. 

Namun, ia menyayangkan narasi di publik justru menyudutkan perusahaan seolah mengkriminalisasi masyarakat, padahal kejadian itu terjadi di wilayah kerja perusahaan. Jandres juga menyampaikan pada 2024 terjadi kasus penganiayaan terhadap Marga Sinaga, warga Simalungun, yang kemudian melapor ke polisi. 

Polisi melakukan penangkapan, tetapi langkah tersebut kembali dibenturkan dengan isu kriminalisasi.

“Pada waktu itu disebut bahwa TPL melakukan penculikan. Lalu dokumen-dokumen di mana kami punya fasilitas perumahan dan kantor, alat power komunikasi itu semua dirusak dan dibakar pada waktu itu,” ucapnya.

DPR Minta Kasus Diusut Tuntas

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Sugiat Santoso menyatakan persoalan sengketa tanah adat di wilayah operasional Toba Pulp Lestari harus diusut tuntas. Politikus Partai Gerindra itu bahkan menyatakan inisiatif membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) oleh Kementerian Hukum dan HAM yang melibatkan Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai langkah strategis menyelesaikan persoalan. 

Menurut Sugiat perlu ada langkah konkret untuk menegakkan akuntabilitas perusahaan dalam menerapkan strategi nasional bisnis dan HAM. Pembentukan tim pencari fakta yang disepakati saat kunjungan kerja Komisi XIII DPR ke Sumatera Utara pada Oktober lalu dinilai perlu untuk menelusuri dugaan pelanggaran HAM  yang mungkin terjadi. 

Ia meminta pemerintah dan tim pencari fakta bisa memberikan laporan investasi secara berkala kepada parlemen agar diperoleh informasi yang akurat mengenai dugaan pelanggaran HAM. Hasil investasi ini nantinya akan menjadi dasar bagi DPR dalam menyusun kebijakan lanjutan terhadap nasib Toba Pulp dan juga warga di sekitar operasional perusahaan. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Nur Hana Putri Nabila

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...