Kemenkeu Targetkan Demutualisasi Semester I 2026, BEI Masih Kaji Skemanya
Bursa Efek Indonesia mengaku masih mengkaji skema demutulisasi yang tengah direncanakan pemerintah. Kementerian Keuangan menargetkan proses demutualisasi BEI dapat dilaksanakan pada semester pertama 2026.
Demutualisasi merupakan proses perubahan struktur kelembagaan BEI, dari mutual oleh anggota bursa (AB) menjadi publik. Adapun demutualisasi ini ditargetkan mulai pada semester pertama tahun depan. Proses ini masuk dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
“Kami sampaikan bahwa bursa tentunya sedang mengkaji skema seperti apa yang paling optimal buat pasar modal kita," kata Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna ketika ditemui di Main Hall BEI pada Jumat (12/12).
Nyoman menjelaskan bahwa demutualisasi merupakan perubahan struktur mendasar. Karena itu, tugas BEI adalah menyiapkan studi komprehensif mengenai seluruh opsi dan dampaknya bagi pasar, meski terdapat pro dan kontra dalam rencana ini.
Kendati demikian, Nyoman memastikan model rencana ini disusun agar dapat memberikan manfaat bagi pasar modal Indonesia. Setelah kajian selesai, kata Nyoman, hasilnya akan diserahkan kepada pihak yang berwenang mengambil keputusan, yakni para pemegang saham.
“Modelnya harus bisa memberi manfaat optimal bagi pasar modal,” ujarnya.
Terkait rencana demutualisasi yang disebut pemerintah akan dilakukan pada semester pertama 2026, Nyoman mengatakan pihaknya belum dapat memberikan penjelasan lebih jauh.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa proses demutualisasi BEI akan mengubah struktur bursa dari yang sepenuhnya dimiliki anggota menjadi perseroan dengan kepemilikan yang dapat dimiliki pihak lebih luas.
Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Masyita Crystallin mengatakan proses ini masih dalam tahap kajian dan pemerintah sedang menghimpun masukan dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk BEI, OJK dan pelaku pasar.
“Pandangan dari bursa dari OJK, dan juga akan dengar dari pelaku pasar bagaimana governance yang baik,” ujar Masyita saat ditemui di Gedung BEI, Senin (8/12).
Sementara itu, ketika ditanya mengenai peluang BEI untuk melantai di bursa setelah demutualisasi, Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik mengatakan otoritas masih mengkaji berbagai aspek yang berkaitan dengan proses tersebut.
“Sedang dalam kajian dan kami juga sedang menunggu hasilnya,” kata Jeffrey kepada Katadata.co.id, Rabu (10/12).
Jeffrey menegaskan koordinasi antarpemangku kepentingan terus dilakukan. Ia menekankan, demutualisasi bukan aksi korporasi BEI, melainkan langkah yang dijalankan para pemegang saham untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
“Setiap pihak melakukan kajian, kami di BEI juga melakukan kajian, dari masing-masing institusi itu dikolaborasikan untuk dibahas bersama,” ujarnya.
Di samping itu, terkait kemungkinan BEI melakukan penawaran umum perdana saham (IPO) setelah demutualisasi, Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai, hal itu sangat mungkin.
Ia menjelaskan bahwa demutualisasi bertujuan untuk memodernisasi tata kelola bursa, meningkatkan daya saing global, mendorong inovasi instrumen seperti derivatif, ETF, dan pembiayaan jangka panjang, serta memperdalam likuiditas pasar.
Ia menambahkan, pemerintah menilai struktur baru BEI dapat memperdalam pasar modal. Dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) demutualisasi, penguatan ekosistem baik dari sisi penawaran seperti peningkatan free float, maupun sisi permintaan seperti partisipasi investor institusional penting untuk meningkatkan likuiditas dan meminimalkan benturan kepentingan.
“Manfaat lainnya adalah akuntabilitas meningkat dan tata kelola (profesionalisme) lebih baik karena kepemilikan lebih luas,” katanya.
