OJK Dorong Bank dan Asuransi Adopsi Empat Kode Etik Fintech Lending
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong perbankan dan asuransi untuk mengadopsi code of conduct yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan financial fechnology (fintech). Kode etik yang dibuat oleh Asosiasi Fintech (Aftech) itu mengacu pada kebijakan OJK terkait perlindungan konsumen.
"Kami punya wewenang untuk melindungi nasabah, makanya ada market conduct yang komprehensif," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di kantornya, Jakarta, Rabu (2/1).
Setidaknya, market conduct itu memuat empat hal. Pertama, transparansi dalam hal biaya yang ditanggung konsumen, penagihan, pertukaran data, proses bisnis, dan lainnya. Kedua, keberlanjutan usaha supaya nasabah mendapat kepastian bahwa uangnya bisa kembali. Ketiga, menyalahgunakan dana maupun data nasabah. Keempat, ada unsur keadilan bagi nasabah.
"Ini akan kami terapkan tidak hanya di fintech (lending), tetapi juga lembaga keuangan lainnya seperti bank," kata Wimboh. Ia menambahkan "Ini semua sedang dalam proses uji materi."
Hal ini bertujuan, supaya masyarakat yang menjadi nasabah industri jasa keuangan tidak dirugikan. Aturan market conduct ini pun sudah diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 1 Tahun 2013 tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Hanya, Wimboh ingin market conduct ke depan lebih komprehensif dan pengawasannya meningkat.
Selama ini, OJK mengawasi industri jasa keuangan konvensional seperti bank dan asuransi dari sisi prudensial, seperti kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR), rasio kredit bermasalah (Non Peforming Loan/NPL), dan lainnya. Bila aturan market conduct yang komprehensif itu jadi diterapkan, maka industri keuangan konvensional juga dituntut transparan terhadap nasabah.
(Baca juga: Beda Aturan Fintech dan Industri Keuangan Konvensional)
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menyampaikan bahwa peraturan untuk Industri Keuangan Digital (IKD) seperti fintech lending berbasis pada aktivitas. Sedangkan peraturan industri keuangan konvensional mengacu pada institusinya.
Untuk itu, OJK tidak mengawasi fintech lending secara ketat. "Kami tahu (IKD) ini tidak bisa diatur dengan ketat. Kalau diatur sama dengan industri keuangan yang ada, pasti akan kalah saing karena mereka baru," kata Nurhaida beberapa waktu lalu (7/8/2018).
Aturan itu bisa berbeda, karena industri IKD tidak diperkenankan mengelola uang masyarakat. Oleh karenanya, fintech lending wajib memiliki escrow account sehingga uang dari masyarakat masuk di sistem perbankan. Alhasil, risiko yang mungkin timbul di industri ini hanya dari sisi operasional platform.
Namun, bila berkaca pada pelanggaran perlindungan konsumen PT Asuransi Allianz Life Indonesia pada akhir 2017, maka market conduct untuk industri keuangan konvensional juga penting. "Pengawasan market conduct itu ada standarnya. Walaupun fiturnya beda, tapi dia harus menjelaskan sejelas-jelasnya ke konsumen sebelum mereka beli," ujar Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara.
(Baca juga: OJK Akan Panggil Industri Asuransi Terkait Kasus Mantan Dirut Allianz)