Sri Mulyani Bantah Konspirasi Perppu Buka Rekening dan Tax Amnesty
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menepis kecurigaan Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa ada konspirasi di balik penerbitan tiba-tiba landasan hukum untuk keterbukaan data nasabah. Ia menjelaskan, pihaknya sibuk membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun lalu.
"Kami tidak ada konspirasi untuk sampaikan Perppu di akhir (mendekati batas waktu)," kata dia saat Rapat Kerja dengan Komisi Keuangan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/7). (Baca juga: Sri Mulyani: Akhir Era Kerahasiaan, Rekening WNI di Swiss Bisa Diakses)
Pemerintah memutuskan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi untuk keperluan perpajakan pada Mei lalu. Perppu tersebut diterbitkan terutama untuk mengikuti kerja sama global pertukaran data nasabah secara otomatis alias Automatic Exchange of Information (AEoI) mulai 2018.
Anggota Komisi Keuangan dari Fraksi PDI Perjuangan Andreas Eddy Susetyo menilai bila saja pemerintah mengajukan lebih dulu aturan keterbukaan data nasabah maka program amnesti pajak (tax amnesty) bisa saja tidak perlu dilakukan. Maka itu, ia mempertanyakan alasan pemerintah tidak mengajukan peraturan terkait jauh-jauh hari. Apalagi, rencana AEoI sudah ada sejak beberapa tahun lalu.
"Ini kan sudah sejak 2008 dengan MAC (Multilateral Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters) itu, kok diajukan mendekati batas waktu? Kenapa ini enggak dijadikan prioritas? Jangan-jangan Indonesia enggak perlu amnesti pajak waktu itu, kalau ini diajukan lebih dulu," ujar dia.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi XI DPR dari fraksi PDI Perjuangan Muhammad Prakosa. Menurut dia, sebelum disepakati program amnesti pajak, dirinya sudah bertemu Presiden Joko Widodo. Ketika itu, Presiden sepakat fokus menjalankan AEoI. Tapi ternyata malah disetujui dilaksanakan amnesti pajak.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah menerbitkan Perppu baru-baru ini lantaran organisasi yang memfasilitasi AEoI yaitu Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) baru menjelaskan persyaratan untuk mengikuti AEoI pada pertengahan tahun lalu. Salah satu persyaratannya yaitu penerbitan aturan primer selambat-lambatnya akhir Juni 2017. (Baca juga: Teken Perjanjian, Singapura Akhirnya Siap Buka Data Rekening WNI)
Di sisi lain, pada pertengahan tahun lalu, dirinya baru menjabat Menteri Keuangan dan langsung berfokus pada APBN yang dinilainya dalam kondisi tidak baik. Defisit anggaran, misalnya, sudah hampir mendekati batas tiga persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). “Penyelamatan APBN jadi fokus utama ketika itu,” ucapnya.
Pasca pembahasan APBN 2016, pemerintah kembali disibukkan dengan pembahasan APBN 2017. Lalu berlanjut lagi dengan APBN Perubahan 2017 dan APBN 2018. Maka itu, pemerintah menerbitkan Perppu. Sebab, jika menunggu revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) maka pemerintah tidak akan bisa memenuhi tenggat akhir Juni. (Baca juga: Pemerintah Tetap Upayakan Buka Data Nasabah Bila Perppu Ditolak)
Di sisi lain, Anggota Komisi Keuangan dari Partai Golongan Karya (Golkar) Mukhammad Misbakhun dan Johnny G. Plate dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) mempertanyakan alasan pemerintah menerapkan keterbukaan data nasabah untuk wajib pajak di dalam negeri juga. Padahal, AEoI hanya menyangkut data nasabah asing. Selain itu, keterbukaan data nasabah lokal harus dibahas secara detil agar tidak menimbulkan perbedaan persepsi.
Terkait hal ini, Komisi Keuangan berencana memanggil Menteri Keuangan Periode 2013-2014 Chatib Basri dan Menteri Keuangan 2001-2004 Boediono pada Selasa (18/7). Selain itu, memanggil asosiasi di sektor keuangan pada hari berikutnya. Setelah itu, Komisi Keuangan akan membuat keputusan. "Pekan depan kami akan memutuskan (diterima atau ditolak)," kata Ketua Komisi Keuangan Melchias Marcus Mekeng.