Dua Pemicu Anjloknya Rupiah, BI Kritik Para Analis
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menilai, anjloknya mata uang rupiah hingga sempat menembus level 13.800 per dolar Amerika Serikat (AS) sangat tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Sebab, saat ini, fundamental ekonomi di dalam negeri dinilai cukup baik.
Hal itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi kuartal III lalu sebesar 5,04 persen sejak awal tahun (year to date/ytd). Selain itu, inflasi di kisaran tiga persen, dan desifit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) yang turun menjadi 1,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut Mirza, ada dua hal yang menyebabkan rupiah melemah tajam saat ini. Pertama, kajian dari analis yang negatif, meskipun tidak mencerminkan fundamental Indonesia. (Baca: Setelah Trump Menang, Pasar Bisa Bergejolak Hingga 2017)
Berdasarkan pengalamannya di pasar, ia berpandangan hal ini ulah analis yang melaporkan bahwa kebijakan Presiden AS terpilih Donald Trump bakal berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Padahal, menurut Mirza, fundamental Indonesia masih baik.
Lagipula, posisi Indonesia berbeda dengan Meksiko, Brazil, atau Afrika Selatan yang hubungan dagangnya dengan AS cukup besar. Karena itu, tak heran jika mata uang dari ketiga negara tersebut terdepresiasi masing-masing sebesar 3,5 persen, 4,9 persen, dan 4,8 persen dalam sehari.
Sedangkan porsi dagang Indonesia ke AS yang hanya 12,5 persen, menurut dia, tidak akan terlalu signifikan terkena imbas kebijakan proteksi yang akan diterapkan Trump. “Saya kan bekas orang pasar, saya tahu analis begitu. Kalau sudah mahal, analisis dibuat negatif supaya punya alasan untuk jual. Kalau harga turun, dibuat bagus sekali, pasar begitu,” ujar Mirza di Jakarta, Jumat (11/11).
Faktor kedua, Mirza mengamati pelemahan ini karena ada kekhawatiran pasar kalau Indonesia akan mengambil kebijakan serupa dengan Bank Negara Malaysia (BNM). Bank sentral Malaysia tersebut membatasi perdagangan valas, setelah ringgit melemah hampir lima persen terhadap dolar AS, Kamis (10/11) lalu.
(Baca: BI Borong Surat Utang, Kejatuhan Rupiah Tertahan di Level 13.300)
Padahal, BI tidak akan melakukan hal serupa dan membiarkan pasar berjalan seperti biasanya. Menurut Mirza, Indonesia tidak akan membatasi valas di pasar uang dan pasar antarbank karena yang paling terbaik adalah membiarkan pasar berjalan dengan baik, dari sisi pasokan maupun kebutuhan. “Juga akan ada balance dan para eksportir juga sudah mulai masuk, itu yg membuat kurs kembali stabil.”
Seperti diketahui, mata uang rupiah sempat anjlok 5,6 persen ke level 13.865 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat pagi. Belakangan, rupiah kembali menguat ke posisi 13.383 per dolar AS atau melemah 1,8 persen pada penutupan perdagangan, Jumat sore.
Sedangkan berdasarkan kurs referensi BI, JISDOR, rupiah melorot ke posisi 13.350 per dolar AS atau melemah 1,8 persen dibandingkan hari sebelumnya.
Penguatan itu hasil dari intervensi BI di pasar surat utang dan pasar valuta asing. Mirza mengungkapkan, BI melakukan intervensi karena nilai tukar rupiah melemah melewati nilai fundamentalnya. “Setelah BI mengumumkan membeli SBN (Surat Berharga Negara) dan hadir di (pasar) valas, saya lihat (rupiah kembali menguat ke posisi) 13.500 per dolar AS,” katanya.
(Baca juga: Cemas Kebijakan Trump, Rupiah dan Mata Uang Asia Berguguran)
Di tempat terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan fenomena yang terjadi pada nilai tukar rupiah pada hari Jumat erat kaitannya dengan situasi politik yang terjadi di Amerika, yakni terpilihnya Donald Trump sebagai presiden negara tersebut secara mengejutkan.
Ia menilai, gejolak bursa saham dan kurs mata uang ini wajar pasca terpilihnya Trump karena AS merupakan salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia. "Memang sangat dipengaruhi sentimen yang terjadi terutama perubahan dan perkembangan politik AS," katanya.
(Baca juga: Rupiah Anjlok 13.800 per Dolar, Sri Mulyani Waspadai Aksi Spekulasi)
Sri Mulyani mengaku pemerintah dan BI saat ini tetap memantau perkembangan rupiah, apakah anjloknya rupiah memang faktor psikologi belaka yakni kekhawatiran pasar terhadap situasi yang berkembang saat ini atau ada faktor lain. Faktor yang dimaksud adalah aksi spekulasi terhadap mata uang rupiah.
"Tidak ada yang disebut overshoot. Kalau sampai dibuat (rumor), kami lihat motif pembuatan rumornya dan akan kami tangani," ujarnya. "Kami akan lihat siapa yang memainkan spekulasi."