Chatib Basri Khawatir Bantuan Likuiditas Mengerek NPL Bank Tahun Depan
Pemerintah memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan. Namun, Mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri menilai kebijakan tersebut tidak tepat karena ada risiko kredit macet atau non-performing loan (NPL) melonjak pada 2021.
"Likuiditas relatif baik. Loan to deposit ratio turun, loan to funding ratio turun. Likuiditas ample (lebih dari cukup)," kata Chatib dalam sebuah webinar, Senin (20/7).
Secara umum, Chatib menilai saat ini perbankan tidak mengalami pengetatan likuiditas. Bila ada perbankan yang mengalami kekurangan likuiditas, masalah tersebut hanya terjadi pada perbankan yang sudah memiliki isu tersebut sebelum pandemi covid-19.
Menurutnya, golongan debitur yang menunggak minimal 1-2 bulan atau kredit Kol-2 saat ini masih lancar. Permasalahan dinilai timbul saat relaksasi kredit berakhir. Oleh karena itu, dia menilai permasalahan pada perbankan bukan mengenai likuiditas, melainkan credit crunch.
"Credit crunch ialah bank enggan memberikan kredit karena kalau dia kasih kredit tapi tidak ada permintaan, kredit akan macet," ujar dia.
Chatib pun menyarankan adanya credit guarantee. Hal tersebut telah dilakukan oleh Multilateral Development Bank saat krisis ekonomi 2008.
Saat itu, Chatib menjabat sebagai Deputi Menteri Keuangan untuk G20. Perdagangan global kolaps dan perrbankan enggan memberikan pendanaan kepada eksportir. Oleh karena itu, Multilateral Development Bank masuk ke pasar dengan memberikan dana senilai US$ 250 miliar selama dua tahun sebagai credit guarantee.
Bila terjadi kredit macet, kebijakan stimulus fiskal pun perlu diperpanjang hingga 2021. "Dan diikuti dengan monetary expansion," katanya.
Adapun dalam lima tahun terakhir, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) perbankan bersifat fluktuatif tapi cenderung meningkat. Peningkatan ini terjadi pada bank BUKU I dan II. Sebaliknya, penurunan terjadi pada bank BUKU III dan IV. Selengkapnya bisa dilihat melalui databoks berikut ini: