Multifinance Restrukturisasi Pinjaman 4 Juta Nasabah Senilai Rp 124 T
Otoritas Jasa Keuangan menyebut sebanyak 182 perusahaan pembiayaan atau multifinance telah menerima permohonan restrukturisasi dari 4,8 juta kontrak pinjaman hingga 11 Agustus 2020. Total outstanding pokok pinjaman dalam kontrak tersebut mencapai Rp 150,43 triliun dengan bunga sebesar Rp 38,03 triliun.
Kepala Departemen Pengawasan IKNB II B OJK Bambang W. Budiawan menjelaskan bahwa dari total tersebut, terdapat 4,18 juta kontrak yang disetujui oleh perusahaan pembiayaan untuk direstrukturisasi. Total outstanding pokoknya sebesar Rp 124,34 triliun dengan bunga mencapai Rp 31,73 triliun.
Sementara, kontrak yang permohonannya masih dalam proses tercatat sebanyak 350 ribu kontrak dengan outstanding pokok senilai Rp 16,34 triliun dan bunga Rp 3,9 triliun. Adapun permohonan yang tidak sesuai dengan kriteria tercatat sebanyak 285 ribu dengan pokok Rp 9,75 triliun dan bunga Rp 2,4 triliun.
Bambang mengatakan bahwa restrukturisasi perusahaan pembiayaan yang cukup besar tersebut dapat berpengaruh pada arus kas perusahaan. Pasalnya, perusahaan pembiayaan akan kesulitan untuk melakukan pertumbuhan jika tidak ada arus kas.
"Ada pasar, ada niche market di sana, ada project yang harus dibiayai. Kalau cashflow-nya masih kering, ini akan menyulitkan mereka untuk tumbuh positif," kata Bambang dalam acara diskusi secara virtual, Rabu (12/8).
Meski begitu, restrukturisasi yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan ini perlu dilakukan secara hati-hati. Pasalnya, kemampuan dan kekuatan keuangan masing-masing perusahaan berbeda. Adapun hingga Mei 2020, perusahaan pembiayaan memiliki 23,35 juta kontrak debitur.
Selain itu, kondisi kesehatan perusahaan pembiayaan juga perlu dijaga sehingga restrukturisasi yang diberikan tidak mengakibatkan kegagalan dalam membayar atau memenuhi kewajibannya kepada krediturnya. "Ini akan memiliki dampak yang lebih luas bagi stabilitas perekonomian nasional," kata Bambang.
Hingga Mei 2020, mayoritas atau 82% pendanaan perusahaan pembiayaan yang mencapai Rp 282,79 triliun berasal dari pinjaman. Sementara, Rp 60,08 triliun atau 18% berasal dari penerbitan surat berharga.
Dari total pinjaman, rupiah masih menjadi sumber utama pendanaan perusahaan pembiayaan yaitu Rp 140,26 triliun atau 49,6%. Berikutnya ada pinjaman dalam dolar Amerika Serikat yang setara dengan Rp 120,92 triliun atau 42,76%. Lalu, pinjaman dengan mata uang yen Jepang Rp 20,84 triliun atau 7,37%.
Sementara, dari penerbitan surat utang, obligasi masih menjadi primadona. Perusahaan pembiayaan mengantongi pendanaan dari obligasi senilai Rp 53,43 triliun atau 89%. Sisanya dalam bentuk surat utang jangka menengah alias medium term note senilai Rp 6,64 triliun atau 11% dari total penerbitan surat utang oleh perusahaan pembiayaan.
Dari sumber-sumber pendanaan tersebut, perusahaan pembiayaan pun melakukan program restrukturisasi kepada kreditur perbankannya. Bambang menjelaskan bahwa terdapat 26 perusahaan pembiayaan yang mengajukan restrukturisasi kepada krediturnya.
Sementara ada 118 perusahaan pembiayaan memiliki pendanaan dari kreditur tetapi belum mengajukan restrukturisasi. Padahal, perusahaan-perusahaan ini sudah melakukan restrukturisasi kepada debiturnya. "Belum mengajukan restrukturisasi kepada kreditur karena mereka tidak terafiliasi dengan pihak perbankan," kata Bambang.
Bank yang menjadi kreditur multifinance juga banyak yang tak memiliki kebijakan restrukturisasi kepada korporasi seperti multifinance. "Pinjaman perusahaan pembiayaan termasuk dalam kategori korporasi," kata Bambang.
OJK sendiri telah mengeluarkan Peraturan Nomor 14 Tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19 Bagi Sektor Industri Keuangan Nonbank akibat Covid-19. Peraturan yang diluncurkan pada Maret 2020 lalu ini berlaku satu tahun, tetapi OJK mempertimbangkan untuk melakukan perpanjangan.
Bambang mengaku bila restrukturisasi yang dilakukan perusahaan pembiayaan kepada nasabahnya bukan obat yang permanen untuk industri pembiayaan di tengah pandemi. Sehingga, OJK akan mempertibangkan pemulihan pasar, baik sektor riil maupun permintaan masyarakat untuk memutuskan jangka waktu perpanjangannya.
"Kalau itu cepat, perpanjangannya tidak lama. Perkirakan 31 Maret 2021 (POJK) berakhir, perpanjangnya bisa 3 sampai 12 bulan, tapi kami harapkan kurang dari setahun," kata Bambang.
Bambang menilai, langkah restrukturisasi pada industri perusahaan pembiayaan harus dilakukan agar tidak terjadi lonjakan rasio pembiayaan bermasalah atau nonperforming financing secara masif. Namun,setelah restrukturisasi, akan ada permasalahan likuiditas dan solvabilitas yang membayangi perusahaan pembiayaan.
Selain itu, dari sisi arus kas alias cashflow, dinilai akan susah bertumbuh jika arus kas masih kering sehingga akan sulit bagi bisnis perusahaan pembiayaan. "Apalagi perusahaan pembiayaan ini 89% pendanaan dari pinjaman," kata Bambang.
Dari sisi kinerja keuangan perusahaan pembiayaan hingga Mei 2020, laba perusahaan ini tercatat anjlok 64,64% dibandingkan dengan laba pada periode sama 2019. Penurunan laba ini karena pertumbuhan pembiayaan cenderung turun, sementara biaya-biaya yang ditanggung perusahaan pembiayaan cukup besar.
Seperti diketahui, hingga Mei 2020, piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan tercatat senilai Rp 420,25 triliun, turun 6,38% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal ini juga menyebabkan rasio NPF perusahaan pembiayaan memburuk, berada di level 4,11%, padahal pada Mei 2019 ada di posisi 2,73%.
"NPF gross pasti naik karena memang pembaginya tidak naik. Sementara kebijakan restrukturisasi, penetapan kualitas tidak begitu bisa menyebabkan NPF itu menjadi menurun," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Suwandi Wiratno mengatakan bahwa restrukturisasi pembiayaan kepada debitur ini menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan pembiayaan. "Ini salah satu dampak dari pandemi Covid-19 pada industri pembiayaan," kata Suwandi.
Dia melanjutkan bahwa dampak pandemi lainnya yaitu pada kesulitan perusahaan pembiayaan dalam menagih angsuran kepada debitur. Pasalnya, ada pembatasan sosial yang dilakukan di beberapa daerah di tanah air.
Sementara itu, di tengah pandemi, perusahaan pembiayaan masih tetap harus melakukan pembayaran cicilan kepada perbankan ata utangnya. Di sisi lain, perbankan menghentikan pencairan dana kepada perusahaan pembiayaan. "Akibatnya, perusahaan pembiayaan mengalami masalah likuiditas," katanya.
Ia menambahkan bahwa pembiayaan baru menjadi berkurang karena berkurangnya daya beli masyarakat dan likuiditas pembiayaan yang ketat. Rendahnya pembiayaan baru ini, menyebabkan peningkatan NPF akibat kemampuan bayar debitur menjadi berkurang.
Suwandi mengatakan bahwa APPI bersama anggotanya telah menyiapkan strategi untuk tetap bertahan menghadapi pelemahan ekonomi karena pandemi Covid-19. Suwandi mengatakan, industri pembiayaan harus melakukan efisiensi biaya, dan selektif memilih debitur. Selain itu, perlu mencari sumber pendanaan baik dari perbankan, non-bank, obligasi, atau pun pasar modal.