Neraca Keuangan BI Defisit Rp 21 T Tahun Depan Akibat Burden Sharing
Bank Indonesia telah membeli surat berharga negara sebesar Rp 234,65 triliun dalam rangka berbagi beban alias burden sharing dengan pemerintah guna membiayai penanganan pandemi Covid-19. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo tak menampik skema ini akan memengaruhi neraca keuangan bank sentral.
Ia memperkirakan neraca keuangan bank sentral defisit Rp 21 triliun pada 2021 dengan adanya burden sharing. "Dari surplus yang tahun ini relatif besar," kata Perry dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (28/9).
Perry tak menyebutkan proyeksi surplus yang akan diperoleh bank sentral tahun ini. Anggaran BI sepanjang 2019 mencatat surplus operasional setelah pajak Rp 33,35 triliun.
BI mencatat, pembelian SBN jangka panjang di pasar perdana dalam skema burden sharing telah mencapai Rp 234,65 triliun. Skemanya, melalui mekanisme pasar Rp 51,17 triliun dan secara langsung Rp 183,48 triliun.
Sementara itu, pembelian SBN dari pasar sekunder untuk stabilisasi nilai tukar berjumlah Rp 166,2 triliun. Secara keseluruhan, posisi kepemilikan SBN BI yaitu Rp 640,6 triliun.
Anggota Komisi XI DPR Misbakhun mengatakan defisit neraca keuangan BI dapat mengganggu kredibilitas otoritas moneter secara otomatis. "Jangan sampai skenario burden sharing memperlemah posisi kelembagaan BI," ujar Misbakhun dalam kesempatan yang sama.
Apalagi, sambung dia, sekian banyaknya SBN yang sudah diserap oleh BI belum maksimal digelontorkan oleh pemerintah kepada masyarakat terdampak Covid-19. Maka dari itu, Misbakhun menilai perlu kebijakan baru selain burden sharing agar bank sentral tidak menyerap sendiri SBN yang diterbitkan pemerintah dalam rangka membiayai PEN.
Anggota Komisi XI DPR Dolfie meminta Bank Indonesia untuk mempertimbangkan skema lain di luar burden sharing dalam pembiayaan Covid-19 yang telah ditetapkan untuk diperpanjang sampai tahun depan. Ia menilai burden sharing tetap meningkatkan beban utang pemerintah meski BI menanggung sebagian biaya bunga.
"Karena ketidakpastian ini berlanjut apakah 2021 atau 2022. Vaksin memang memberi harapan, tapi kita belum tahu seberapa efektif? Apakah akan terus burden sharing dan bertumpu pada utang," ujarnya.
Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah per akhir Agustus 2020 sebesar Rp 5.594,93 triliun atau 34,53% terhadap produk domestik bruto Indonesia. Jumlah itu meningkat Rp 914,7 triliun atau 19,5% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Burden sharing dengan skema BI sebagai pembeli siaga, menurut Dolfie, juga akan meningkatkan pembayaran bunga utang pemerintah. Saat ini, menurut dia, porsi pembayaran bunga utang mencapai 16% dari total APBN. "Tahun depan, kemungkinan bisa mencapai 18% dari belanja pemerintah hanya digunakan untuk membayar bunga utang. Sudah melebihi anggaran kesehatan," ujar Dolfie.
Berdasarkan data APBN Kita, pembayaran bunga utang sampai dengan Agustus 2020 tercatat Rp 196,5 triliun, naik 14% jika dibandingkan Agustus 2019. Dengan demikian, Dolfie meminta bank sentral agar bisa membantu pemerintah dengan menyediakan dana pembangunan secara langsung. Salah satunya, seperti terobosan e-rupiah terkait barang ekspor dan impor.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pembagian beban alias burden sharing antara pemerintah dengan BI akan diperpanjang hingga 2022. Hal tersebut dilakukan seiring pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di atas 3% yang telah ditentukan hingga tiga tahun ke depan. Melalui keputusan perpanjangan burden sharing ini, BI akan tetap menjadi standby buyer dalam lelang Surat Berharga Negara di pasar perdana.