Indonesia Butuh Dana Rp 892 Triliun untuk Dorong Ekonomi Restoratif

Image title
25 Juli 2024, 14:27
Foto udara Desa Wisata Akebay di Pulau Maitara, Tidore Kepulauan, Maluku Utara,Sabtu (20/7/2024). Objek wisata Pulau Maitara merupakan peraih penghargaan sebagai Desa Wisata Terbaik 2023 oleh Kemenparekraf dan saat ini pemda setempat terus melakukan penge
ANTARA FOTO/Andri Saputra/tom.
Foto udara Desa Wisata Akebay di Pulau Maitara, Tidore Kepulauan, Maluku Utara,Sabtu (20/7/2024). Objek wisata Pulau Maitara merupakan peraih penghargaan sebagai Desa Wisata Terbaik 2023 oleh Kemenparekraf dan saat ini pemda setempat terus melakukan pengembangan pariwisata berkelanjutan di desa tersebut guna menarik kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara.
Button AI Summarize

Center of Economic and Law Studies (Celios) mencatat Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 892,1 triliun hingga 2045 untuk melaksanakan strategi ekonomi restoratif di berbagai sektor. Ekonomi restoratif merupakan model ekonomi pembangunan yang mementingkan lingkungan hingga sosial yang berkelanjutan.

"Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 37 triliun per tahun, dan sekitar Rp 892,15 triliun hingga 2045," ujar Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar Media, dalam peluncuran laporan dan penelitian berjudul "Paradigma Baru Ekonomi: Dukungan Fiskal untuk Ekonomi Restoratif", Kamis (25/7).

Menurutnya,  Indonesia masih kekurangan anggaran khusus untuk inisiatif ekonomi restoratif meskipun kesadaran praktik berkelanjutan semakin meningkat. Hal ini menyebabkan Indonesia sering kali tertinggal dari upaya keberlanjutan lain seperti energi terbarukan dan mitigasi perubahan iklim.

Media mengatakan, setidaknya ada dua tantangan utama yaitu kesenjangan investasi dan keterbatasan kebijakan untuk mengembangkan ekonomi restoratif. Untuk itu, ia merekomendasikan model perpajakan progresif dan berkelanjutan di Indonesia.  Adapun, angkah yang diusulkan meliputi pajak karbon, pajak produksi batu bara, pajak laba mendadak (windfall tax), dan pajak orang super kaya.

Langkah-langkah ini berpotensi menghasilkan pendapatan tambahan sebesar Rp 222 triliun sampai dengan Rp 241 triliun per tahun. Dana tersebut bisa digunakan untuk pembiayaan inisiatif ekonomi restoratif.

"Terobosan inovatif dalam perpajakan ini dapat menjadi opsi pembiayaan untuk mendukung inisiatif restoratif tanpa menambah beban utang dan membebani struktur fiskal saat ini,” ujarnya.

Media merinci, estimasi penerimaan negara dari pajak berkelanjutan dan progresif untuk pembiayaan ekonomi restoratif berasal dari pajak karbon dengan perkiraan mencapai Rp 69,75 triliun, pajak windfall Rp 42, 71 triliun, pajak produksi batu bara Rp 28, 76 trliun, dan pajak orang super kaya Rp 81,56 triliun.

Ekonomi Restoratif Bisa Bawa Cuan

Chairwoman Koalisi Ekonomi Membumi, Gita Syahrani, mengatakan ekonomi restoratif memberikan beragam manfaat untuk lingkungan, termasuk memberikan "cuan" atau keuntungan ekonomi bagi masyarakat.

Indonesia memiliki potensi ekonomi restoratif yang besar tetapi masih perlu diperbaiki pengelolaannya di sektor hulu. Ekonomi restoratif atau sebuah sistem ekonomi yang melihat kelestarian lingkungan guna menjaga keberlangsungan alam dapat memberikan beragam manfaat bagi manusia.  

"Sebenarnya sudah kelihatan (sumber cuan) dari sekarang. Kita melihatnya sektor (ekonomi restoratif) ini yang value creation-nya paling tinggi," ujar Gita dalam podcast GreenTalks dengan judul "Ekonomi Berbasis Alam, Bisa Cuan?",  dikutip Selasa (4/6).

Gita mencontohkan salah satu keuntungan yang bisa dinikmati oleh para pelaku ekonomi restoratif datang dari sektor kecantikan. Menurut Gita, konsumen mau membayar mahal untuk produk kecantikan dan perawatan pribadi (personal care) yang menggunakan hasil olahan keanekaragaman hayati (biodiversity) Indonesia yang berkelanjutan.

"Secara nilai memang sudah besar tapi bagaimana kita bisa benerin di hulu dan mendorong supaya dia betul-betul dikelola secara regeneratif. Keanekaragaman hayati itu  dikelola tumpangsari dan agroforestri, bukan monokultur," ujar Gita. 

Pengelolaan sumber daya alam tersebut bisa melibatkan masyarakat setempat sehingga sumber daya tersebut juga bisa menghasilkan banyak lapangan kerja.

Menurut Gita, komoditas yang sudah telanjur monokultur seperti kelapa sawit sebenarnya bisa dilihat sebagai peluang untuk membantu industri kelapa sawit mengurangi dampak negatifnya. 

"Bisa dikelola secara lebih berkelanjutan, tidak ada deforestasi (no deforestation), tidak ada eksploitasi gambut dan itu menjadi komitmen perusahaan-perusahaan di sana," ujarnya.

Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...